Masih ingatkah kalian sahabat sekalian kata-kata yang sangat terkenal dari putra sang fajar, yang mengatakan JAS MERAH (jangan sekali kali melupakan sejarah), begitulah pesan beliau kepada kita semua, tapi pesan beliau hanyalah sebuah pesan, tidak mampu mengubah sikap dan mental para generasi penerusnya.
Dalam pancasila sudah dijelaskan dengat sangat jelas ’’kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan permusyawarata PERWAKILAN”lalu demokrasi yang mana yang sedang kita jalani saat ini? Apakah benar demokrasi yang BENAR harus melalui mekanisme pemilihan langsung dari rakyat ? sementara pendidikan yang masih belum sepenuhnya teratasi, lalu apakah benar kalau suara rakyat adalah suara tuhan, mereka para pengayuh becak, yang hanya mengenyam pendidikan dasar, mereka tukang sayur yang hanya lulusan sekolah menengah pertama, dan kalau boleh jujur, saya tidak mau jika suara saya disamakan dengan mereka sahabat sekalian, karna walau bagaimanapun antara tempe dan sate, masih mahal sate dan rasanya pun lebih enak, lalu bagaimana dengan kalian?, bukannya keinginan untuk merendahkan mereka semua, tapi ini memang fakta sebagai sebuah refleksi bersama, belum lagi tidak di dukungnya media masa yang selalu memihak salah satu calon, dengan mengungkap kebaikannya saja, politik pencitraan, lalu demokrasi apakah ini sebenarnya, masihkah kalian menginginkan demokrasi yang seperti ini, yang sudah jelas-jelas bersebrangan dengan pancasila sebagai dasar Negara.
Marilah kita sejenak refleksi kembali, demokrasi yang asal muasalnya dari negeri paman sam, bisa dikatakan sebagai Negara bapaknya demokrasi, justru menggunakan sistem pemilihan tidak langsung dengan cara electoral collage, lalu demokrasi yang mana yang berlangsung sekarang ini, money politik, kerusuhan dimana-mana, belum lagi terpengaruhnya dunia pesantren oleh politik yang telah mencabut kekeramatan sebuah pesantren dan ketidak percayaan masyarakat terhadap pesantren, dan lain sebagainya, coba kita analogikan dengan efektifitas kelas dalam proses belajar mengajar saja, efektifnya siswa itu berjumlah 20 siswa, baru proses belajar akan berjalan optimal, walaupun tidak tapi tidak begitu parah, itu sama halnya dengan pemilihan langsung, yang harus mengawasi jutaan orang, jangan katakan jika ada teknologi, orang kalian saja belum bisa membuat alat canggih ya kan?
Proses demokrasi sudah seharusnya dikembalikan kepada masa orde baru, ini tak lepas dari merah putih atau Indonesia hebat, mengembalikan pada sistem pemilihan di zaman orde baru tentunya harus dengan banyak catatan dan hal-hal yang harus di perbaiki, karena memang setiap kebijakan pasti akan menuai pro dan kontra, jangan hanya terpengaruh oleh media masa, yang selalu membangun persepsi betapa bobroknya pemilihan tidak langsung, hak rakyat di rampas, hak rakyat di kebiri, hak rakyat di curi, selalu saja pemberitaan yang memprovokasi telinga rakyat agar bergerak, tanpa adanya solusi yang jelas, jika nantinya pemilihan langsung seperti apa atau pemilihan tidak langsung seperti apa,
Jika rendra mengatakan harusnya revolusi budaya tapi menurut saya pribadi penafsiran kata-kata rendra adalah, revolusi hokum, jika nantinya memang benar-benar pemilihan tidak langsung maka hokum harus benar-benar memberikan efek jera, tidak hanya sekedar memberikan remisi dan remisi, yang perlu diperhatikan adalah institusi kepolisian dan lain sebagainya harus dan wajib dibersihkan terlebih dahulu, lalu para dewan perwakilan rakyat harus dan wajib dibersihkan dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Kalau perlu hokum mati saja mereka yang melakukan korupsi, seperti apa yang di ungkapkan oleh Abraham Samad, namun bagi mereka yang tamak. THINK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H