Oleh : Agung Pratama
Kipas angin itu terus berputar, menjadi hal yang harus di lakukannya. Karena kondisi dari pemiliknya sedang kepanasan apalagi kondisi di luar sangat panas, maka ia pun harus tetap berputar. Tak ada lagi kata berhenti atau menolak karena pemilik kipas ingin tetap bertahan di rumahnya agar tak menumpang di negeri orang. Namun apa daya, kipas kini berkehendak sesuai dengan haknya. Omong kosong kata pemiliknya ingin berkehendak sendiri. Karena aku adalah rakyat ini, dan engkau pemimpin negeri bukanlah pemilik partai/golongan/kelompok yang ingin memeras kami.
Kami adalah pemilik sah bangsa ini bukan kalian yang hanya segelintir orang, kami dan aku adalah rakyat di bangsa ini. Seharusnya pemimpin di bangsa ini menjadi pelayan untuk bangsa ini, bukan meregang kami dengan panas hingga membuat kami ke negeri orang. Tak ada beda antara engkau dengan kipas angin apabila tidak mempunyai mata hati. Hanya sekedar untuk menggambarkan kipas angin ini, namun gambaran ini masih bagus. Karena kondisi rakyatku masih buruk. Engkau tak percaya, coba lihat sejenak.
Republika., Jakarta --Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2013 mencapai 28,55 juta orang (11,47 persen) atau meningkat 0,48 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 tercatat 28,07 juta orang (11,37 persen).
Tempo. Kemendikbud: 3,6 Juta Rakyat Indonesia Buta Huruf
Okezone. Buruk Muka Pendidikan Indonesia
Aku sadar banyak alasan yang logis untuk membantah data di atas, dan untuk mengatakan tidak sepakat dengan hal di atas. Kami juga sadar bahwa suara kami hanya untuk orang kecil di bus bus kota yang berkarat oleh zaman walaupun dengan nada mengancam. Kami juga sadar bahwa kota besar menjadi tempat tahunan untuk mengais sedikit rezeki walaupun tangan kami harus di bawah. Kami juga sadar bahwa bangsa ini nan luas dan sangat sulit untuk di atur. Namun setidaknya tengoklah kami, karena kami juga rakyat seperti engkau dan kau.
Sejujurnya
Aku merindukan sosokmu yang menjadi teladan bagi semua orang, namun itu tak mungkin karena hal itu beda zaman. Jikapun begitu aku merindukan pribadi yang menyejukan dari tutur bahasanya, hatinya, dan sikapnya yang nan lembut agar kami ini tenang. Tentu hal itu tak mungkin juga karena masa itu telah lewat. Masa-masa di mana keimanan menjadi ikatan antara satu dengan yang lain. Menjadi panutan dalam berpijak, dan menjadi patokan sebelum melangkah. Sudahlah, kalian itu tidak pernah belajar dari masa lalu. Sekarang buanglah rasa rindu di hatimu dari pemimpin yang tegas, adil, penuh dengan ilmu, dermawan, bijaksana, dan dapat di percaya. Buang, dan Buang lah karena sekarang uang yang ada di mata kalian, bukan hal yang normatif seperti itu.
Ku buang rasa rindu tentang pemerintahan nan bersih, karena orang kotor dengan pikiran kotor tak perlu lagi bersandiwara. Ku buang tentang rasa cinta yang tulus karena terlalu mudah ungkapan cinta di negeri ini, selalu di umbar, selalu di ucap dan senang pun sesaat karena cinta ini bersifat utopis. Ku buang rasa keadilan di hati, biarlah orang yang suap-suapan tak lagi bermain di bawah tangan dengan amplop. Sebenarnya sederhana, agar yang kotor itu bisa terlihat muncul di permukaan.
Setelah itu
Tak seharusnya kipas angin berkehendak sesuai dengan kehendaknya sendiri, walaupun ia memberikan harapan dari kondisi yang serba panas. Seharusnya ia bukan memanfaatkan situasi untuk membuat kondisi lebih panas dan kacau. Begitu juga di negeri ini. Rakyat tak perlu lah di cekik dengan kondisi selalu yang di rugikan. Bukankah pemimpin itu pelayan bagi rakyatnya. Atau itu hanya sekedar mimpi, namun mimpi itu dari masa lalu. Seharusnya menjadi referensi bagi pemimpin bangsa ini, bukan di lupakan demi kantong-kantong kelompok.
Tulisan ini dari seorang pemuda dan sebagai pemuda aku akan menjadi kipas angin yang baru untuk mengganti yang hidup segan mati tak mau. Memberi angin segar ke pelosok negeri. Harapan dan aku menjadi hal baru bagi bangsa ini. Saya pikir label aku di negeri ini sangat banyak, apabila ia tahu bahwa kotoran itu sudah tampak di permukaan. Tentu lidi sebatang tak bisa berbuat apa-apa namun apabila ia bersatu, kotoran yang besar pun dapat di bersihkan-nya. Rasa pesimis dan optimis terus menghantui setiap wajah-wajah kami. Seberkas cahaya itu akan datang, entah kapan. Namun dari sekarang kami akan membusungkan dada ini untuk Indonesia bangsaku.
Sumber : http://blogskacang.blogspot.com/2014/05/kami-aku-dan-rakyat.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H