Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Gerakan Kampus Dikebiri?

Diperbarui: 24 Mei 2017   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rezim Jokowi terkesan lebih sensitif terhadap ideologi, gerakan dan pemikiran. Buktinya berupa keputusan pembubaran ormas HTI, upaya respresif terhadap "radikalisme dan ekstrimis" dan pernyataan "gebuk dan tendang" pada PKI.

Kampus tak luput dari perhatian pemerintah. Nampaknya, pemerintah amat serius menangani arus pemikiran, ideologi dan gerakan di kampus yang dianggap membahayakan. Tak tanggung-tanggung, birokrasi kampus juga ikut serta dalam upaya tersebut. Fenomena birokrasi di beberapa kampus  yang "nimbrung" adalah di luar kelaziman di rezim-rezim sebelumnya. Bahkan, tindakan "nimbrung" itu sudah vulgar dan menjurus ke represif, kalau tidak disebut "norak".

Kampus adalah tempat yang amat potensial bagi pengembangan wacana dan gerakan pemikiran. Selain karena sebagai wadah berkumpulnya para cendikia, mahasiswa memang kelompok yang bergairah dengan eksistensi dan aktualisasi diri.

Kampus juga tempat bertumpunya harapan untuk melahirkan generasi emas. Hampir semua mereka yang memimpin di  berbagai bidang hari ini adalah produk aktivisme kampus. 

Sayangnya, upaya "kebiri" kampus dapat diniliai terlalu gegabah dan emosional. Bagaimana tidak, debat mengenai definisi radikal, ekstrim dan gerakan yang tidak sesuai dengan Pancasila terlalu dini dianggap selesai.

Semua gerakan di kampus amat bertalian dengan gerakan di luar kampus. Bahkan bisa dibilang, gerakan di dalam kampus amat krusial dan menjadi parameter mengukur konstalasi gerakan pemikiran nasional.

Mari kita memetakan gerakan apa saja yang bertumbuh dan berkembang di kampus. Gerakan dapat dibagi berdasarkan struktur organisasinya ke dalam gerakan internal dan gerakan eksternal. Gerakan internal adalah gerakan yang secara formal dibawah kendali birokrasi kampus. Sedangkan gerakan eksternal tidak memiliki hubungan koordinasi organisasi dengan birokrasi, tetapi wilayah pergerakannya di lingkungan kampus. Contoh gerakan eksternal seperti KAMMI, HMI, PMII, IMM, Gema Pembebasan dll.

Khsusus untuk gerakan internal, meskipun di bawah kendali birokrasi kampus, namun sesungguhnya pemikiran, muara dan model gerakannya sangat bertautan dengan gerakan yang ada di luar. Saya sebut model pertautan tersebut sebagai psoudoafiliasi. Model afiliasi semacam inilah yang berhasil merekrut kader-kader baru untuk gerakan yang ada di luar kampus.

Jika kita mau jujur, P*S dan H*I adalah gerakan yang sangat dominan di seluruh kampus di Indonesia, yang selanjutnya saya menyebutnya sebagai gerakan psoudoafiliasi. Bahkan, kampus adalah dapur utama bagi kedua gerakan ini. 

Saya menduga, "kebiri" kampus oleh rezim adalah kelakuan yang dipengaruhi oleh konstalasi politik nasional. Setidaknya ada dua alasan mengapa kegenitan ini begitu vulgar. Pertama, ada semacam paranoid terhadap gerakan psoudoafiliasi, kemudian gerakannya dibatasi kalau tidak disebut disuntik mati. Kedua, upaya ambil alih kampus lalu digantikan dengan gerakan lain.

Sayangnya, upaya pembatasan tersebut lebih bersifat politis dan nonakademis. Kalau gerakan psoudoafiliasi di kampus dibatasi, lalu peran-peran besar mendidik anak muda mau digantikan dengan apa. Padahal, daripada mengkebiri gerakannya, pemerintah semestinya adil dengan juga mengapresiasi kerja-kerja komunitas ini. Komunitas ini telah berhasil (i) menjadi wadah positif bagi mahasiswa, (ii) memberikan ruang eksistensi dan aktualisasi diri bagi mahasiswa, dan (iii) dinilai melahirkan kader yang punya wawasan kebangsaan, unggul dan kompetitif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline