"Ampuuun, ampuuuuun, Tuan Raja. Jangan siksa saya. Saya berjanji tak akan mencuri lagi. Jangan potong tangan saya. Kasihanilah saya. Saya mencuri karena harus mencari makan untuk anak-anak saya. Tolonglahhhh saya…, “ teriakan Ruben menggema di seluruh ruangan yang besar dan megah itu. Tapi tak satupun di dalam ruangan itu yang mengacuhkan teriakan menyayat dan roman ketakutan di wajah lelaki berusia tigapuluh tahunan itu.
“Prajuriit, bawa manusia tak berguna ini ke sel bawah tanah. Besok pagi kita akan laksanakan hukuman untuk dia,” titah Raja Moreno yang langsung dituruti oleh kedua prajuritnya.
Prajurit istana yang berbadan besar dan berbulu lebat itu menarik paksa badan Moreno dengan kasar dan beringas. Saudagar itu terus berteriak dan menghiba memohon ampunan pada sang Raja. Tapi Raja gagah berbulu abu-abu itu bergeming. Pandangannya lurus ke depan, tak nampak sedikit pun rasa belas kasihan di raut wajah penguasa negeri Anggora itu.
Tak bisa dibayangkan apa yang akan dialami Ruben esok hari. Dia akan kehilangan kedua tangannya karena akan dipotong oleh eksekutor istana. Bagaimana dia bisa bekerja nantinya? Bagaimana dia bisa mencari nafkah untuk ke tiga anak-anaknya yang masih kecil?
****
Musim salju tahun ini memang cukup esktrim. Butiran-butiran putih yang turun sangat lebat menutupi seluruh tanah di Desa Pucisca hingga tigapuluh sentimeter. Dinginnya udara minus 25 derajat celcius membuat hampir seluruh penghuni desa malas meninggalkan rumah. Duduk di depan perapian sambil menikmati secangkir teh panas, semangkuk sup krim ayam keju dengan roti gandum tentu menjadi pilihan yang menyenangkan. Tapi Ruben harus keluar untuk mencari persediaan makanan bagi keluarganya. Sudah lebih tiga bulan Ruben mengalami kebangkrutan. Gulungan-gulungan kain yang dijanjikan akan diantar oleh seseorang dari kota untuk mengisi kiosnya di Pasar ternyata tak kunjung datang, sementara seluruh modal Ruben telah diberikan pada lelaki perlente yang mengaku sebagai pemasok kain dari seluruh pelosok negeri. Akibatnya menjelang musim dingin di saat semua orang berlomba menyimpan bahan makanan, lelaki berambut pirang itu hanya bisa pasrah. Persediaan gandum, keju, kentang dan lainnya di dalam gudang tak banyak. Ruben tahu, saat musim dingin tiba pasti semuanya akan habis.
“Suamiku, gandum hanya tinggal seperempat karung kecil. Aku takut di ujung Minggu nanti, aku tak bisa lagi membuat roti. Begitu juga keju, mentega, kentang dan lainnya,” keluh Hilda saat mereka menyantap sarapan pagi.
Dituangkannya teh panas dari teko keramik bergambar bunga mawar ke dalam cangkir dengan motif yang sama. Hilda menaruh cangkir itu di atas meja tepat di depan suaminya.
Ruben menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Pikirannya benar-benar buntu. Dia bingung ke mana lagi harus mencari uang untuk membeli bahan makanan. Seminggu yang lalu dia mencoba berhutang pada Limbart, saudara sepupunya yang membuka kios di pasar. Tapi permintaan tersebut ditolak dengan kasar karena pedagang bahan makanan itu sakit hati pernah diusir Ruben saat membutuhkan pertolongan beberapa tahun yang lalu.
Hilda menuang sup krim kentang ke dalam mangkok-mangkok kecil lalu memotong roti baquet panas yang baru saja dikeluarkannya dari oven.
“Ahhh, sup buatan Mommy haruuuumm sekali,” Joe, si sulung yang berusia 10 tahun mengendus-endus mangkok yang ada di hadapannya.