Istilah korupsi sudah bukan hal asing lagi kita dengar, karena setiap hari kita menyaksikan pemberitaan di media masa terkait kasus korupsi yang hampir sebagian besar dilakukan oleh pejabat dan penyelengara pemerintahan lainnya. Bahkan di era reformasi.
Sebut saja kasus Century, kasus pajak Gayus Tambunan, dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games, rekening gendut Polri, dan sejumlah kasus kakap lain.Tentu menyelesaikan kasus-kasus itu memerlukan keberanian, ketulusan, integritas, serta kelihaian strategi para penyidiknya dalam menghadapi para koruptor yang kian pandai dalam menutupi kejahatannya dalam mengeruk uang rakyat.
Kita harus akui secara jujur bahwasnnya kasus-kasus korupsi yang sudah dan sedang di prosesoleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan kejaksaan hanya sebagian kecil dari fakta lapangan yang sesunguhnya terjadi. Setiap jajaran pemerintah otonom dan atau setiap instansi pemerintahan (eksekutif, legislative dan yudikatif) seandainya mau menelisiknya lebih jauh menegani praktek korupsi yang terjadi, bisa di pastikan tidak akan ada yang luput dari praktek busuk dan kotor itu. Laporan masyarakat (termasuk yang di salurkan melalaui DPD) tentang dugaan korupsi yang di sampaikan ke KPK saja sudah lebih dari 60.000 kasus korupsi, namun dengan alasan karena keterbatasan sumber daya, yang di tangani hanyalah kasus- kasus tertentu saja.
Sadar atau tidak sadar masayarakatlah yang paling merasakan dampak dari praktekkorupsi.Contoh sederhananya seperti yang kita saksikan pada hari iniangka kemiskinan, penganguran, warga Negara yang tidak dapat mengenyam pendidikanyang terjadi di bangsa ini semakin meningkat tiap tahunnya, ini merupakan dampak dari uang Negara yang seharusnya di alokasikan untuk kepentingan rakyat banyak namun mengalir ke kantong-kanong para koruptor. Sunguh ironis.
Ketika kita menelisik lebih dalam hal yang menjadi akar dari praktek busuk ini, bisa kita mengklasifikasikan menjadi dua factor yang menyebabkan orang melakukan tindakan korupsi, yang pertama di karenakan oleh factor internal, yakni orangyang melakukan korupsi, di karenaa dorongan darikeadaan ekonomi, maupun keluargauntuk memenuhi kebutuhan individu saja, yang kedua adalah dari factor eksternal, dimana factor eksternal ini mendorong seorang untuk melakukan tindakan korupsi seperti pengaruh dari politik, hukum yang tidak memberikan efek jera kepada pelaku korupsi, serta salah menggunakan kekuasaan pun menjadipeluang untuk bertindak melakukan tindakan korupsi.
Kecendrungan meningkatnya praktek korupsi dari zaman ke zaman merupakan bencanabagi bangsa Indonesia. Gerakan pemberantasan korupsi yang di lakukan oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) di dukung oleh pemberitaan media masa, cetak, social, ternyata tidak memberikan efek jera kepada para pejabat politik dan atau penyelengara Negara dari godaan untuk merampas harta Negara.
Kondisi negeri ini dimana jaringan korupsi sudah begitu kuat, melibatkan petinggi hingga bawahan, bahkan dilindungi orang-orang “kuat” negeri ini sudah terbiasa menyelesaikan berbagai pelanggaran di bawah meja, bahkan di atas meja alias terang-terangan. Pemberian hukuman ringan, pengurangan masa kurungan penjara, dibiarkannya tersangka koruptor berkelana di mancanegara, sudah hal biasa.
Kendati proses penegakan hukum penuh dengan transaksional, sebagian petinggi di negeri ini tak lagi punya malu. Sibuk dengan pencitraan, meski anggota kelompok, keluarga, atau istrinya diduga terlibat korupsi. Banyak contoh kiat menyelamatkan negara dari rongrongan korupsi. Itu diketahui persis oleh penguasa, termasuk Presiden. Tapi semuanya dianggap tidak cocok, meski di luar negeri terbukti mempan, seperti pelaksanaan hukum mati bagi koruptor di China, serta pemotongan generasi, mengganti generasi tua yang dianggap biang korupsi di Latvia. Barangkali kalau hal itu diterapkan, kemungkinan tidak akan muncul lagi koruptor baru.
Unuk memberantas korupsi membutuhkan orang yang tak sekadar punya nyali berani, tapi juga harus memiliki integritas moral yang bagus. Para pimpinan KPK sebaiknya tak usah banyak berbicara karena yang dibutuhkan masyarakat adalah hasil kerja nyata mereka.Masyarakat tidak membutuhkan “selebritas”yang hanya pandai berpolemik di televisi atau media lainnya.
Menjadi pertanyaan sederhana bagi kita semua, khususnya dari kalangan mahasiswa yang di katakana senagai kaum intelektual, apakan bangsa ini akan terus terjebak dan menjadi lahan praktek para koruptor dan kita hanya berdiam tanpa ada sikap yang benar-benar meberikan efek jera kepada koruptor itu, sementara mereka terus saja melebarkan sayapnya untuk menghisap uang rakyat?
Sejarah peran mahasisiwa dalam menumbangkan rezim otoriter
Di Indonesia gerakan mahasiswa selalu memiliki momentumnya sendiri. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1966, 1974, 1978, dan 1998 diakui sebagai tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut hingga kini diagung-agungkan.
Akan tetapi, seharusnyagerakan mahasiswa saat ini tidak tenggelam dengan romantisme gerakan mahasiswa masa lalu. karena hal tersebut justru menjatuhkan gerakan mahasiswa pada saat ini. Kebanggaan akan pada prestasi pendahulunya ketika itu, justru tak mengubah keadaan sedikit pun.
Hal yang perlu dilakukan mahasiswa sekarang adalah pendobrakan atas ‘mitos-mitos’ di atas dan memperbaikinya. Belajar dari sejarah merupakan upaya merekonstruksi kembali apa yang terjadi di masa lalu untuk menjadi pembelajaran dalam pembacaan atas realitas sekarang. Karena dinamika yang dihadapi hari ini, berbeda dengan mahasiswa dulu. Untuk itu berbeda pula model pendekatannya atau obatnya. .
Memang tidak dipungkiri sekarang ini banyak mahasiswa yang sudah luntur idealismenya karena terbuai dengan budaya konsumtif dan hedonisme. Hal tersebut ternyata membuat mereka semakin berfikir dan bertindak apatis terhadap fenomena yang ada di sekitar mereka dan kecenderungan memikirkan diri mereka sendiri. Padahal perjuangan mahasiswa tidak berhenti begitu saja ada hal lainnya yang menanti untuk diperjuangankan oleh mereka, yaitu dalam melawan dan memberantas korupsi.
Pasca reformasi gerakan mahasiswa justru seperti kehilangan taring. Mahasiwa kehilangan sosok musuh bersama layaknya pada masa orde baru. Mahasiswa kemudian menjadi entitas yang tak jauh berbeda dengan siswa. Pola berfikir mahasiswa masih mengadopsi pola pikir ketika masih menjadi siswa. Akhirnya yang menjadi musuh utama gerakan mahasiswa pada masa kini adalah bukan korupsi akan teatpi mahasiswa itu sendiri.
Pola pelemahan kritisme mahasiswa pada masa reformasi dilakukan dengan birokratis-sistematis. Mahasiswa dibuat sibuk sengan aktifitas akademik mereka. Berlomba mengejar nilai demi Indeksi Prestasi yang tinggi. Mahasiswa akhirnya terlepas dari wacana-wacana tentang kasus-kasus korupsi yang melanda bangsa ini . Pragmatisme melanda mahasiswa sehingga indikator kesuksesan hanya dilihat dengan prestasi akademik.
Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh mahasiswa adalah yang pertama Menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di kampus. Hal ini terutama dimulai dari kesadaran masing-masing mahasiswa yaitu menanamkan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka tidak boleh melakukan tindakan korupsi walaupun itu hanya tindakan sederhana, misalnya terlambat datang ke kampus, menitipkan absen kepada teman jika tidak masuk atau memberikan uang suap kepada para pihak pengurus beasiswa dan macam-macam tindakan lainnya. Memang hal tersebut kelihatan sepele tetapi berdampak fatal pada pola pikir dan dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan bahkan yang lebih parah adalah menjadi sebuah karakter.
Selain kesadaran pada masing-masing mahasiswa maka mereka juga harus memperhatikan kebijakan internal kampus agar dikritisi sehingga tidak memberikan peluang kepada pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan melalui korupsi. Misalnya ketika penerimaan mahasiswa baru mengenai biaya yang diestimasikan dari pihak kampus kepada calon mahasiswa baru maupun mahasiwa lam, maka perlu bagi mahasiswa untuk mempertanyakan dan menuntut sebuah transparasi dan jaminan yang jelas dan hal lainnya. Jadi posisi mahasiswa di sini adalah sebagai pengontrol kebijakan internal kampus.
Dengan adanya kesadaran serta komitmen dari diri sendiri dan sebagai pihak pengontrol kebijakan internal kampus maka bisa menekan jumlah pelaku korupsi.
Upaya lain untuk menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di lingkungan kampus adalah mahasiswa bisa membuat koperasi atau kantin jujur. Tindakan ini diharapkan agar lebih mengetahui secara jelas signifikansi resiko korupsi di lingkungan kampus.
Mahasiswa juga bisa berinisiatif membentuk organisasi atau komunitas intra kampus yang berprinsip pada upaya memberantas tindakan korupsi. Organisasi atau komunitas tersebut diharapkan bisa menjadi wadah mengadakan diskusi atau seminar mengenai bahaya korupsi. Selain itu organisasi atau komunitas ini mampu menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan internal kampus.
Yang kedua Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan korupsi. Upaya mahasiswa ini misalnya memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya melakukan tindakan korupsi bisa melalui program KKN atau sebagainya karena pada nantinya akan mengancam dan merugikan kehidupan masyarakat sendiri. Serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam menindaklanjuti (berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa kurang relevan.
Ketiga, Menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah. Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen pengontrol dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk dikontrol dan dikritisi jika dirasa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak positif pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan semakin memperburuk kondisi masyarakat. Misalnya dengan melakukan demonstarsi, mimbar bebas, menulis berita untuk menekan pemerintah atau melakukan jajak pendapat untuk memperoleh hasil negosiasi yang terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H