Lihat ke Halaman Asli

Da Vinci van Sabah

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tak kenal Leonardo Da Vinci? hampir semua orang, bahkan anak-anak usia SD pun, mungkin juga  tahu. Seniman, dan juga ilmuan kondang yang pernah hidup di bumi ini, adalah salah satu tokoh idolaku. Pria yang berasal dari negeri Prancis ini, Dia begitu hebat.
Namun, siapa sangka, di bumi yang lebih sempit ini, di Sabah, Malaysia ini, saya telah menjumpai generasi-generasi Da Vinci yang lain, yang menjelma menjadi seorang guru-guru sederhana di tempat yang jauh, di perkebunan kelapa sawit. Dia, adalah Ahmad Maulana, Aditya Dwi Putra bakti dan Rizal Nur Hakiki.
Mereka bertiga adalah maestro kanvas, bahkan, bukan hanya di atas kanvas saja, di atas apapun, mereka bisa melukis sebuah lukisan yang indah dan eksotis. Salah satunya, adalah di atas sebuah papan tipis di kegiatan jambore anak Indonesia di Malaysia.
Pagi itu, tepat pukul 09.00 Waktu Malaysia Timur, pada hari senin tanggal 3 november 2014, tiga guru yang berasal dari berbagai ladang sawit itu, berkumpul, dan berunding tentang lukisan apa yang akan mereka pajang di gebyar pembukaan jambore anak-anak Indonesia di Malaysia.
Ahmad Maulana Al-Kununny atau akrab disapa Ahmad, kemudian mengusulkan akan melukis bapak pandu Indonesia, H. Agus Salim. Aditya Dwi Putra Bakti, atau yang kerap di sapa Adit, menyumbangkan idenya untuk melukis bapak pramuka Indonesia, Sir Boden Powell. Sedang Rizal Nur Hakiki, atau Rizal nama akrabnya, dia akan melukis lambang dan simbol-simbol kepramukaan yang akan melengkapi lukisan-lukisan indah yang lainnya.
Tinta berbagai warna, kuas segala ukuran, papan ‘triplek’ tipis berbentuk persegi, dan berbagai cat-cat kayu yang lain menjadi bahan dasar mereka meluapkan idenya menjadi satu karya yang konkrit. Yaitu, menjadi sebuah artefak jambore yang akan dilihat, dan disaksikan oleh setiap orang yang hadir disana.
Entah bagaimana mereka bisa memiliki bakat seperti itu, pikirku. Mereka sepertinya memiliki dua tangan dan sepuluh jari, sama denganku. Asupan makananpun, sepertinnya kurang lebih sama, dan sekolah pun, juga sama-sama lamanya, tapi kenapa, mereka bertiga memiliki bakat dan talenta yang hebat, sedang aku tidak? Ah, mungkin karena aku kerap malas dan tak pernah berusaha belajar. Atau, memang setiap manusia itu diberikan bakat dan kelebihannya masing-masing oleh Tuhan? Kalau begitu, apa bakatku? Atau aku yang tak pernah mencari dan menggalinya? Ah, sudahlah. Yang terpenting, aku bangga memiliki teman-teman hebat seperti mereka.
Mereka, adalah seorang seniman jalanan yang tak pernah muncul di layar kaca, namun pengabdiannya disini, sungguh, begitu luar biasa.
Setiap inci goresan pensil yang mereka  lakukan aku perhatikan baik-baik, setiap gerak gerik tangan mereka aku lihat dengan seksama, aku ingin tahu, darimana mereka bisa membuat hasil karya yang begitu indah. Siapa tahu, aku bisa menirunya.
Tidak butuh waktu lama, satu persatu sketsa lukisan hampir selesai dibuat. Ahmad dengan gaya atau style nya yang nyentrik, yang berbeda dengan gaya dan tehnik Adit dan Rizal, dengan begitu tenang mencoret-coret papan di hadapannya. Adit juga demikian, dengan tehnik yang lebih detail dan terperinci setiap senti bahkan mili meternya, dia mulai selesai membuat sket orang nomer satu yang mengawali terbentuk pramuka. Sedang rizal, dengan gaya kombinasi antara fisika dan seni 2 dimesnsi nya, masih meliuk-liukkan tangannya dengan busur dan penggaris untuk menyelesaikan karyanya yang megah.
Baru saja sekilas melihat hasil akhir dari sketsa mereka, saya terkagum-kagum. Berdecak bangga. Bagus sekali mereka menggambar. Keren sekali mereka melukis. Apakah ini yang namanya keajaiban? Mungkin iya, tapi kerja keras mereka dalam menggali dan melatih potensinya, adalah yang lebih utama.
Setelah semua sketsa terselesaikan, masing-masing dari mereka kemudian mulai beradu dengan warna, bergelut dengan tinta dan kuas. Botol-botol bekas air mineral dipotongnya setengah-setengah sebagai tempat cat, dan warna. Inilah salah satu kehebatan mereka. Bahwa, tidak perlu dengan bantuan fasilitas alat yang lengkap, sampah yang tak berguna pun, bisa mereka jadikan media. Sungguh kreatif, bukan?.
“Keterbatasan itu, tidak akan ada artinya jika kita mau berusaha keras”. Kata mereka di sela-sela kesibukannya.
“kita semua sama. Hanya perlu telaten, dan konsisten, semua bisa dicapai. Jangan takut, dan jangan khawatir”. Imbuh mereka.
Merah, kuning, hijau, biru, ungu, putih, hitam, dan berbagai jenis warna lainnya sudah mereka racik. Seperti ramuan sebuah klinik kesehatan, mereka juga punya aturan-aturan baku dalam setiap takaran warna, dan dalam setiap tetes kombinasi antar warnanya. Salah sedikit, hasil yang didapatkannya tak akan memuaskan. Sungguh, Hal yang sulit kulakukan.
Adit memulai dengan goresan kuas yang pertama dari bagian wajahnya. Ahmad mengawali goresan pertamanya mulai dari gambar peci nya. Dan rizal, masih meliuk-liukkan tangan menyelesaiakan papan yang lain yang hampir selesai.
Tidak buruh waktu lama bagi mereka membuat sketsa, ternyata. Namun, bagian yang paling sulit adalah; mewarnai. Pewarnaan dan kombinasi warna ini harus pas, seperti meracik ramuan di atas tadi. Selain itu, tehnik menggoreskan kuas harus lebih teliti. Terbukti dari yang mereka lakukan, mereka nampak sangat berhati-hati sekali memainkan warna. Mereka nampak tegang sekali memoleskan warna. Goresan yang mereka lakukan begitu pelan, dan seksama. Sangat teliti.
Kulihat mereka bertiga sangat serius sekali mengerjakan karyanya. Sesekali, bahkan terlihat setetes dua tetes keringat yang mengucur di pelipis mereka. Namun, sepertinya keseriusan mereka itu sepertinya adalah bukti bahwa mereka bekerja sepenuh hati, mereka melukis sepenuh jiwa, guna, mendapatkan hasil karya yang eksotis. Dan pekerjaanku, adalah melihat mereka bekerja. Pekerjaan yang cukup berat dan membosankan, bukan?.
Terbukti, setelah sekian jam bergelut di belantara warna, hasil yang mereka suguhkan, membuatku dan membuat kami terkagum-kagum. Rasa lapar yang mereka tahan, dahaga yang mereka tahan, membuahkan satu hasil besar yang megah. Sangat brilian sekali. Kami yang hadir saat itu, tak henti-hentinya menggelengkan kepala. Dercak kagum yang tak hilang-hilang. Hebat !.
Lukisan yang mereka buat, yaitu lukisan dari Ahmad, Adit dan Rizal, adalah sebuah lukisan yang indah yang pernah aku lihat. Tidak salah, dan tidak berlebihan, jika aku menamai, dan menjuluki mereka sebagai “Da Vinci Van Sabah”. Guru-guru hebat yang membanggakan. Karya mereka sangat indah dan memukau. Sangat persis sekali lukisan yang mereka buat, dengan gambar asli dari wajah-wajah beliau. Dan lukisan tentang simbol-simbol pramuka yang lain, juga begitu mirip. Hampir sama dengan aslinya.
Itulah mereka, guru hebat, kawan hebat, bahkan saudara hebat, yang pernah aku kenal. Ahmad, Adit dan Rizal. Karya kalian adalah inti dari indahnya jambore untuk anak-anak Indonesia di Malaysia. Ruh dari lukisan kalian begitu nampak, aura yang memancar dari goresan tangan kalian, sangat menyejukkan mata, meneduhkan hati.
Lukisan kalian yang akan terpajang di atas gapura utama jambore ini, akan selalu terkenang sepanjang masa. Selama hayat.
Kalian luar biasa. Bravo Indonesia. Bravo Jambore anak-anak Indonesia di Malaysia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline