Lihat ke Halaman Asli

Yakobus Sila

Pekerja Mandiri

Social Distancing, Bukan "Social Indifferencing"

Diperbarui: 19 April 2020   14:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada awal-awal mewabahnya virus corona di Indonesia, istilah social distancing ratingnya melejit. Orang dianjurkan untuk menjaga jarak pergaulan dengan orang lain agar wabah corona tidak cepat menyebar. Atau paling kurang dibatasi ruang geraknya. Karena diyakini bahwa dengan menjaga jarak sosial/ social distancing, corona akan kebingungan mencari inang baru. 

Saat himbauan itu disampaikan, rumah-rumah orang kaya mulai ditutup rapat. Antara majikan dan pembantu semakin tegas jarak sosial. Uang dari sang majikan yang akan diberikan kepada sang pembantu ditempatkan di pintu rumah, dengan maksud tidak ada yang melanggar aturan social distancing, dan meminimalisir sentuhan fisik.  

Untuk para "polisi cepe" atau pak ogah, uang tidak diberikan langsung seperti biasa, tapi dilemparkan ke aspal. Dengan alasan jaga jarak sosial, hindari sentuhan. Sentuhan-sentuhan sangat minimalis, sehingga jarak sosial berubah menjadi ketidakacuhan sosial (social indifferance).Dampaknya, sentuhan rasa kemanusiaan pun menjadi minimalis. 

Barang-barang milik para pemodal di pasaran dinaikam seratus persen karena permintaan tinggi. Bodoh amat dengan yang lain. Yang penting bisa meraup untung selangit. Mumpung masih ada virus corona. Keadaan tersebut yang kita sepakati dengan sebutan social indifferance. Ketika orang-orang menjadi sangat egois dan tidak peduli terhadap orang lain. 

Kondisi kepanikan awal pandemi corona membuat pemerintah harus turun tangan. Para mafia harus segera ditertibkan agar barang-barang kebutuhan kesehatan seperti vitamin-vitamin, masker, hand sanitizer tidak dijual dengan harga mahal. Karena tampaknya orang menjadi sangat egois dan acuh tak acuh terhadap teriak orang miskin. 

Keadaan mulai nampak tenang ketika social distancing berubah menjadi "social aiding". Bantuan sosial mengalir dari mana-mana. Pemerintah memberikan bantuan sosial sesuai porsinya, misalnya voucher token listrik, bantuan sembako, walaupun dicurigai membocor, bantuan keringanan (restrukturisasi kredit) agar leasing dan para dept collectornya tidak main ancam. Sementara, kaum dharmawan memberikan bantuan semampunya. 

Akhirnya, sekarang kita baru paham bahwa menjaga jarak sosial tidak boleh membatasi niat orang untuk memberikan bantuan sosial. Sikap gotong royong dan solider mesti lebih kuat melawan sikap acuh tak acuh atau ketidakpedulian sosial. Karena ketidakpedulian sosial akan menambah beban hidup di tengah pandemi. 

Jika ketidakpedulian sosial (social indifferance) yang dikedepankan, maka sebentar lagi semua bank bisa tutup karena orang beramai-ramai mengambil uang cash untuk menyelamatkam diri sendiri. 

Kalau ketidakpedulian sosial yang terjadi, maka orang akan tetap naik mobil sesuai stadard normal muatannya, tanpa memerdulikan aturan menjaga jarak atau Pembatasan sosial berskala besar, dengan dalil kebebasan berekspresi. Jika sikap acuh tak acuh yang utama, maka warga dibiarkan keluyuran dan kumpul-kumpul tanpa aparat yang mengontrol dan menegakkan aturan. 

Karena itu social distancing/ physical distancing jangan sampai berubah menjadi social indiffrencing karena hal itu akan berdampak signifikan pada ketahanan ekonomi warga. Jika kondisi ekonomi mulai keropos dan runtuh, dan semua orang hanya memikirkam dirinya sendiri, maka kekacauan itu sudah mengintai. 

Oleh karena itu, social distancing harus menjadi "social aiding" agar manusia menjadi makhluk yang selalu saling tolong menolong, dan bukannya menjadi manusia rakus yang tidak peduli.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline