Lihat ke Halaman Asli

Yakobus Sila

Pekerja Mandiri

Tenaga Kerja Indonesia dan Problem Keterampilan

Diperbarui: 11 Maret 2019   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Yakobus Sila

Judul tulisan tersebut muncul dari keprihatinan penulis terhadap persoalan kesenjangan antara pengetahuan dan keterampilan (skill) tenaga kerja di Indonesia. Kesenjangan tersebut bisa menyebabkan tidak produktifnya tenaga kerja saat bekerja di suatu perusahaan, sehingga harapan untuk mendapatkan upah yang diinginkan terabaikan.

Dalam interview, penulis sering menanyakan hal-hal terkait keinginan pelamar untuk bekerja pada departmen tertentu dan motivasi untuk bekerja. Saat saya bertanya tentang keinginan pelamar untuk bekerja pada departmen tertentu yang mungkin menjadi pilihan kandidat, saya (sangat) sering menemukan jawaban pelamar: "Saya bisa bekerja untuk posisi apa saja". 

Jawaban ini menggelitik saya untuk bertanya lebih lanjut tentang alasan pencari kerja menggunakan kalimat tersebut. Sebab dalam suatu perusahaan, seorang pencari kerja mesti memastikan jabatan yang dilamar sesuai dengan kompetensi, sehingga tidak ada kemungkinan untuk bekerja pada jabatan apa saja. Artinya, jabatan yang dipilih mengandaikan pelamar memahami kemampuan dan keterampilan (skill) yang dimiliki. Ada kemungkinan jawaban pencari kerja tersebut karena sang pencari kerja tidak memahami kebutuhan perusahaan, dan bahkan kekaburan dalam memahami keterampilan yang dimiliki.

PERSOALAN KOMPETENSI

Hemat saya, jawaban pencari kerja tersebut di atas mengandung beberapa persoalan: Pertama, Pelamar tidak memahami kompetensi dan keterampilannya. Pemahaman akan kompetensi dipengaruhi oleh kesadaran terhadap kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Seseorang yang memahami keterampilan (skill) akan menjawab pertanyaan interview sesuai dengan dasar pengetahuan, dan kemampuan yang dimiliki , sehingga dia tidak asal menjawab "saya siap bekerja untuk posisi apa saja". Karena seseorang yang mengatakan "mampu bekerja untuk posisi apa saja" adalah mereka yang tidak memahami kemampuan dan keterampilannya. 

Hal tersebut menyebabkan makin banyak pencari kerja yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keahliannya, sehingga berdampak pada penurunan produktivitas kerja. Saat ini, 54 % pekerja Indonesia bekerja pada sektor informal yang hanya mendapatkan upah rendah namun harus bekerja lebih keras (Data Bank Dunia).  Oleh karena itu, kemampuan dan skill sangat dibutuhkan di dunia kerja (dunia indutri khususnya), agar para pekerja dapat dihargai dengan upah yang pantas.

Kedua, Dunia pendidikan belum maksimal mengajarkan dan melatih secara sungguh-sungguh para siswa/i, agar dapat diterima di dunia kerja. Pengalaman mengajar (sebagai staff pengajar) sebuah Sekolah Menengah Atas di Kalimantan Barat beberapa tahun lalu, membuat saya sadar beberapa kekurangan dunia pendidikan. 

Salah satu persoalan krusial yang saya temukan adalah tentang soal-soal pilihan ganda, entah saat ulangan atau ujian. Hemat saya, ujian menggunakan model pilihan ganda membuat para pelajar tidak berpikir keras dalam menemukan jawaban. Mereka dapat saja dengan mudah menebak jawaban pilihan ganda yang sudah tersedia. Dengan demikian para pelajar tidak memerlukan kemampuan kritis-analitis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian tersebut. 

Dunia pendidikan menjadi pragmatis karena tidak melatih para siswa untuk menghargai proses menyelesaikan soal-soal ujian di sekolah. Bahkan, ujian Nasional (UN) juga menggunakan metode pilihan ganda, yang hemat saya turut memberi andil terhadap penumpulan kemampuan analisis-kritis para pelajar. Jika berbicara pendidikan di Indonesia, maka persoalan rumit akan menggandrungi pikiran kita. Karena itu, saya hanya membatasi masalah pendidikan di Indonesia sebatas kemampuan dunia pendidikan untuk menciptakan para pelajar yang memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk terjun ke dunia industri.

Ketiga,  Ketiadaan kompetensi dan keterampilan berdampak pada kesempatan kerja. Berita tentang TKI yang dianiaya dan disiksa di Negara penerima TKI, sudah menjadi berita tahunan yang menghiasi headline koran-koran nasional. Masalah TKI yang dianiaya, jika ditelusuri lebih jauh, maka kita akan menemukan persoalan keterampilan (skill) entah itu kemampuan berbahasa asing, atau keterampilan (skill) lainnya yang dibutuhkan sebagai calon TKI. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline