Lihat ke Halaman Asli

FPI, Haruskah Saya Respek Sama Islam Anda?

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maaf sahabat FPI. Judul di atas mungkin terlalu provokatif. Islam yang saya maksud di atas lebih pada cara Anda berdakwah yang biasa Anda sebut, Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bukan pada pergumulan keislaman yang Anda hayati secara vertikal, hubungan antara hamba dengan Allah. Soal ini tidak ada yang tahu. Wilayah ini begitu pekat. Hanya Allah Yang Maha Tahu.

Orang Madura bilang padhe tak nanto (sama-sama tidak tahu kepastiannya). Satu prinsip keberagamaan yang lapang, menyerahkan sepenuhnya keberagamaan kita pada Allah. Tanpa harus membusungkan dada bahwa keberagamaan saya yang diterima, sementara orang lain tidak. Terhadap orang jahat pun kita kadang tak bisa mengukurnya. Siapa tahu ia nanti mati dalam keadaan khusnul khatimah. Allah Maha Kuasa.

Soal cara, inilah yang bisa kita perdebatkan. Bisa kita verifikasi. Bisa kita lihat data faktualnya. Anda pasti tahu bahwa dalam Islam tidak saja mengatur hubungan vertikal. Tetapi juga horisontal. Baik dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan/alam. Hubungan ini harus seimbang. Keseimbangan (tawazun) adalah prinsip dalam Islam.

Terus terang saya sulit menerima satu model dakwah yang tak dibingkai dalam keseimbangan. Ketika tidak seimbang maka yang terjadi kemudian model dakwah yang rigid. Keras. Ekstrim. Pengandaiannya begini. Orang yang sudah “jauh” dari agama malah ingin disadarkan dengan model dakwah ekstrim; menggunakan konvoi, bawa pentungan, bawa senjata tajam, dan diposisikan sebagai “common enemy”. Nalar sehat bertanya, bisakah mereka berpaling kepada dakwah yang Anda lakukan? Atau mereka makin jauh, muak dan benci?

Boleh saja ada yang bilang bahwa cara Anda berdakwah adalah shock therapy. Sebut saja cara ini adalah bentuk dari pengejawantahan nahi munkar. Tetapi nahi munkar haruskah dibalut dengan cara yang keras dan terkadang beringas? Bukankah yang terjadi kemudian adalah ketidakseimbangan susulan? Apa yang terjadi di Kendal menurut saya justru keluar dari goal dakwah. Ibarat Anda memancing ikan. Ikannya lari, malah airnya keruh.

Boleh saja Anda menyebut bahwa kejadian ini adalah resiko dakwah. Resiko amar ma’ruf nahi munkar. Tapi sabar dikit. Dalam Islam juga ada akhlak. Akhlak membingkai sikap kita agar santun. Akhlak mengajari kita agar sabar. Bukankah tujuan baik juga harus ditempuh dengan cara-cara yang baik? Saya jadi ingat pelajaran ushul fiqh sebagaimana diajarkan guru-guru saya di desa, al-munkaru laa yuzalu bil munkar (kemungkaran tidak bisa ditegakkan dengan kemungkaran).

Saya menduga, barangkali Anda berpikir bahwa dakwah bisa dilakukan dengan instant. Sekali kepruk, orang langsung sadar. Saya rasa sulit sahabat. Dakwah butuh proses. Ingat Wali Songo kan? Para wali butuh waktu lama berdakwah di Nusantara, karena dakwah menyangkut perubahan kesadaran. Itulah alasannya kenapa para wali lebih suka menggunakan srategi kebudayaan yang membutuhkan waktu lama ketimbang cara-cara instant, seperti yang Anda lakukan.

Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya yang Anda sasar siapa sih? Masyarakat atau Negara? Kalau kemaksiatan seperti prostitusi, judi, dsb marak kenapa Anda tidak amar ma’ruf kepada Negara lebih khusus lagi aparat keamanan yang lembek itu? Bukan dengan jalan yang biasa Anda lakukan sekarang, seperti mencipta Negara dalam Negara.

Maaf. Bulan puasa seharusnya kita arahkan untuk introspeksi ke “dalam”, diri kita sendiri. Tak seharusnya kita beragama dengan membusungkan dada, seolah kita yang paling Islam. Sekali lagi soal ini Gusti Allah Yang Maha Tahu.

Lalu, apakah kita harus menutup mata pada kemaksiatan di sekitar kita? Tentu tidak. Tetapi caranya tentu tidak harus melahirkan masalah baru yang justru makin berisik dan tidak nyaman. Barangkali saatnya Anda bangun lembaga pendidikan, pesantren, masjid, langgar, dan madrasah untuk mendidik keberagamaan masyarakat. Ajarkan Islam yang bisa menjadi mercusuar Nusantara ini. Cara ini memang tidak Instant. Tetapi pasti lebih menyentuh akar.

Nah, jika saya tidak respek, tentu pada cara Anda berdakwah. Bukan pada Islam Anda yang karena saya tidak bisa menembus bathin Anda.

Matorsakalangkong

Pulau garam | 19 Juli 2013

Tulisan terkait : Kisah Umar dan Pemabuk, Renungan Buat FPI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline