Lihat ke Halaman Asli

Bertemu Murid Tahan Banting

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin siang [2/12], saya sempat bincang-bincang dengan seorang murid yang dalam catatan guru BK sudah dua kali melakukan pelanggaran. Sebelum diminta datang ke kantor, saya membayangkan anaknya bertampang preman, sangar dan cuek. Dugaan saya salah, anak ini ternyata kalem dan tenang. Bahkan sikap dan bahasanya sangat sopan.

Meski ia datang dengan sangat sopan, mengingat pelanggarannya yang lumayan serius, saya hampir emosi. Muncul juga buruk sangka dalam pikiran, jangan-jangan ia hanya pura-pura sopan. Persis para politisi kita yang pinter memainkan citra.

Bisa minta nomer HP ayahmu?,” saya coba menguasai diri.

Mohon maaf pak, saya tinggal bersama nenek

Maksudmu?”

Ayah dan ibu bercerai saat saya masih SD. Ayah menikah lagi. Ibu bekerja di Jakarta

Saya sejenak diam. Rupanya anak ini korban dari keluarga broken home. Ketika bercerita tentang ayah-ibunya, anak ini sempat sesenggukan sebentar. Saya mafhum. Tentu tak mudah menjalani hidup tanpa ada orang tua yang lengkap di sisi. Apalagi ia hidup bersama neneknya. Setahu saya, anak yang dibesarkan nenek biasanya cenderung manja. Tak memiliki tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian.

Terus…yang membiayai kamu, siapa?”

Nenek pak...,” jawabnya sambil menunduk.

Oke..saya akan main ke rumah nenekmu untuk membicarakan masalahmu”.

Jangan pak…”. Ia meminta dengan sangat agar pihak madrasah tidak menemui neneknya. Sepertinya ia tidak ingin mengecewakan neneknya. Atau menjadikan beban hidup neneknya makin berat karena masalahnya.

Ia pun melanjutkan ceritanya bahwa sebenarnya ia bermadrasah karena “terpaksa”, berangkat dari kondisi ekonomi yang tidak mampu. Bahkan untuk membiayai pendidikannya, ia nyambi jadi kenek angkutan pedesaan. Ia bertekad tak mau membebani neneknya. Kecuali kalau terpaksa, baru ia minta sama neneknya.

Wah, malu saya. Dugaan saya bahwa anak yang besar bersama embahnya cenderung manja, ternyata tidak sepenuhnya benar. Anak ini ternyata tangguh.

Hebat…saya suka sekali sama anak yang tangguh dan tahan banting,” hanya kata ini yang keluar dari mulut saya.

Anak ini pulang-pergi madrasah naik angkot pedesaan. Rumahnya lumayan jauh, sekitar 10-12 km ke madrasah. kadang, pas tidak punya uang tranpsortasi, ia tidak masuk madrasah.

Gini…gimana kalau madrasah ikut meringankan bebanmu, misalnya menanggung biaya transportasinya setiap hari?,” tanya saya.

Tidak usah pak. Saya masih sanggup membiayai sendiri,” tegas sekali anak ini berbicara. Ada rasa bangga dalam hati saya. Anak ini luar biasa. Ia bukan tipe anak yang girang dikasih bantuan.

Maaf. Ini bukan bantuan madrasah. Tapi hakmu. Di madrasah ini ada hak murid yang membutuhkan,” saya berusaha meyakinkan.

Tidak usah pak. Saya sanggup membayai sendiri,” katanya lagi dengan mantap.

Oke. Saya menghargai pendapatmu. Cuma jika butuh apapun yang terkait dengan sekolahmu, tak usah malu-malu temui para guru di sini”.

Anak ini mengangguk. Lega rasanya saya melihat anak yang tahan banting. Tak pernah menyerah di saat masalah mendera.

Tapi ngomong-ngomong, kok bisa ya kamu melanggar di madrasah?,” tanya saya.

Saya mohon maaf pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi”.

Semoga janjinya akan setangguh sikap hidupnya. Semoga kerja kerasnya akan membuka pintu terang masa depannya. Amien.

Matorsakalangkong

Pulau Garam | 3 Novemeber 2012





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline