Lihat ke Halaman Asli

Kemendikbud, Kementerian Paling Kedap Kritik?

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Salah satu kementerian yang menurut saya paling anti kritik dalam pemerintahan SBY adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [Kemendikbud]. Kemendikbud memiliki pengalaman “luar biasa” dalammenjalankan kebijakan di atas cara pikir “emang gua pikirin”, terutama menyangkut kebijakan UN.

Dalam soal UN, Kemendikbud tetap ngotot mempertahankannya. Berarti Kemendikbudmenutup telinga terhadap suara banyak kalangan, mulai dari ahli pendidikan hingga guru, yang menghendaki UN dihentikan, atau setidaknya jangan dijadikan penentu kelulusan.

Tahun 2013 Kemendikbud kembali akan melanjutkan UN dengan cita rasa baru. 20 paket soal untuk 20 siswa dalam satu ruang kelas sedang dipersiapkan. Sebelumnya hanya ada 5 paket soal. Kemendikbud dengan PD mengatakan, kebijakan baruini akan mengurai soal kisruh kebocoran dan kecurangansebagaimana UN tahun sebelumnya [baca, Tekan Kecurangan, 20 Paket Soal Tahun 2013].

Bahkan dengan 20 paket soal untuk UN tahun depan disusul dengan gagasan baru lagi oleh Kemendikbud, menggelar UN tanpa pengawas [baca, Semangat Gelar UN Tanpa Pengawas]. Kemendikbud barangkali percaya 20 paket soal dalam satu ruang ujian untuk 20 siswa akan “memaksa” siswa untuk jujur. Mereka akan sibuk dengan paket soal sendiri dan tidak mungkin untuk saling contek. Tanpa pengawas pun, siswa tak mungkin membangun “kerjasama” dan “solidaritas” dalam ujian. Nah, buat apa kehadiran pengawas? Mungkin begitu cara pikir Kemendikbud.

Terkait peningkatan variasi soal UN tahun 2013 malah diyakini oleh Kemendikbud akan meningkatkan konsentrasi siswa yang mengikuti ujian. Konsentrasi itu akan berlangsung sejak dari persiapan ujian hingga pelaksanaan ujian. Siswa pasti akan terdorong untuk mempersiapkan diri secara optimal agar bisa lulus ujian. Bahkan diyakini model soal baru ini akan meningkatkan kualitas lulusan [baca, Mendikbud, Peningkatan Variasi Soal UN, Tingkatkan Konsentrasi].

Bukan Sekedar Urusan Tehnis

Apa yang dilakukan Kemendikbud dengan meningkatkan jumlah variasi soal menjadi 20 paket, seolah suara kritis tentang UN di luar hanya direduksi menjadi soal tehnis penyelenggaraan UN. Seolah hanya menyangkut kisruh kebocoran kunci jawaban atau kecurangan dalam penyelenggaraan UN. Pada hal, suara kritis terhadap UN lebih bersifat filosofis dan konseptual.

Setidaknya saya melihat ada beberapa alasan filosofis kenapa UN itu harus dihapus atau setidaknya tidak digunakan sebagai penentu kelulusan [maaf formula 60-40 antara sekolah dengan hasil UN, bagi saya dagelan]. Alasan-alasan penghapusan UN [mungkin ini bukan sesuatu yang baru] adalah sebagai berikut:


  1. UN telah merampas otoritas guru/sekolah dalam meluluskan siswa. pada hal –setidaknya hingga saat ini—pemerintah menerapkan KTSP [kurikulum tingkat satuan pendidikan] sebagai bagian dari kebijakan otonomi pendidikan, yang spiritnya sebenarnya ingin memerdekakan sekolah dan guru. Sekolah dan gurulah yang paling tahu, siswa mana yang lulus dan tidak, sesuai dengan standar kualifikasi yang dirumuskan sekolah. Fakta ini tentu tidak mengesampingkan pemerintah yang memiliki tugas untuk menjaga standar mutu sekolah. silahkan pemerintah melakukan evaluasi, tetapi bukan sebaai penentu kelulusan. Cukuplah evaluasi dilakukan pemerintah sebagai alat pemetaan.
  2. Dalam hasil diskusi yang dimuat di Kompas cetak [10/10] , penyelenggaraan UN dipertanyakan karena mengingkari “kastanisasi” yang dibuat pemerintah sendiri. Setidaknya sekolah saat ini dikelompokkan menjadi RSBI [rintisan sekolah bertaraf internasional] RSBN [rintisan sekolah bertaraf nasional], dan sekolah regular. Bagaimana mungkin, UN dengan standar soal yang sama dan tunggal diberlakukan untuk semua jenis kelompok sekolah? Belum jika melihat disparitas sekolah kota dan desa, misalnya soal SDM guru dan sarana prasarana. Tapi fakta ini diingkari oleh Kemendikbud.
  3. Eevaluasi yang sentralistik dan seragam telah menyederai keragaman dan keunikan masing-masing lembaga pendidikan. KTSP yang diharapkan bisa mengakomodasi lingkungan sosial-budaya dimana lembaga pendidikan berada, kembali tercerai-berai. Semangat KTSP sebenarnya cukup bagus untuk mengembalikan keragaman dan keunikan pendidikan yang diberangus oleh Orde Baru. Tapi akhirnya rontok juga oleh ”penerus Orde Baru”.
  4. Soal dalam UN sepenuhnya menggunakan pilihan ganda [multiple choices]. Setiap siswa disediakan pilihan jawaban [untuk tingkat SMA/MA/SMK 5 pilihan jawaban] yang lebih menitikberatkan pada hasil ketimbang proses. Satu lagi, soal dalam bentuk pilihan ganda ini telah menempatkan nalar siswa sekedar “rasio interumental” yang digunakan untuk mencari trik, siasat, dan cara yang jitu dalam mengubungkan soal dengan jawaban. Makanya para siswa meski bersusah payah belajar, tetapi ditekankan pada kemampuan menjawab soal. Ilmu pengetahuan dalam konteks ini sekedar direproduksi atau dalam derajat yang lebih “rendah”, sekedar dihafal, yang akan menguap setelah UN selesai. Tentu, akan berbeda jika para siswa diposisikan sebagai subyek yang turut memperoduksi ilmu pengetahuan misalnya, mendialogkan pengetahuan dengan masalah masyarakat dan bangsanya.
  5. UN, sepanjang pengalaman saya, telah “merusak” budaya belajar di sekolah. Para guru kehilangan kreativitas, karena tugasnya hanya bahas soal, kemudian try out, try out, dan tray out. Saya melihat sekolah untuk kelas akhir seperti berubah layaknya tempat kursus. Para siswa siswa juga sibuk berlatih menjawab soal, sambil diam-diam melupakan pelajaran yang tidak di-UN-kan.

5 alasan di atas semoga cukup untuk membuktikan bahwa masalah UN bukan sekedar urusan tehnis. UN yang mati-matian dipertahankan oleh Kemendikbud malah dengan 20 paket soal untuk tahun depan, tetap tak akan menjawab masalah dasar seperti tuntutan orang yang menolaknya. Entahlah, jika UN sekedar urusan proyek. Karena untuk penyelenggaraan UN tingkat SMA/MA/SMK saja harus menghabiskan 600 milyar. Kalau karena ini [semoga tidak], pantas saja kedap kritik[?]

Matorsakalangkong

Pulau Garam | 25 oktober 2012


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline