Menarik mengomentari pendapat pak JK Soal tawuran siswa yang memakan korban beberapa hari lalu. Menurut pak JK yang dikenal gesit ini, tawuran terjadi karena “siswa sekarang tidak disiplin dan tergerusnya rasa hormat kepada gurunya.”
JK sampai perlu membandingkan dengan siswa jadul yang penghormatan terhadap guru begitu luar biasa. Menurut JK, di era sebelumnya para pelajar sangat menghormati guru karena mendapat pendidikan disiplin yang cukup ketat. Sekarang menurut JK berbeda, “Guru keras sedikit dianggap pelanggaran terus dilaporkan" [baca: JK: Tawuran Terjadi karena Siswa Tak Hormati Guru]
Sentilan JK
Sebagai seorang guru, saya merasakan betul apa yang disampaikan pak JK. Satu hal bahwa menguatnya liberalisme yang mengagungkan kebebasan dan hak individu telah memberikan dampak yang tidak ringan dalam dunia pendidikan, khususnya kepada guru. Guru mengalami kesulitan menguatkan otoritasnya. Otoritas guru pelan-pelan tergerus karena otoritas guru seringkali harus berhadapan dengan kebabasan hak-hak individu siswa, termasuk orang tua.
Otoritas guru salah satunya bisa dipahami dari ketegasannya [maaf bukan keras]. Saya melihat dalam banyak kasus para guru sudah melemah ketegasannya. Sudah jelas menemukan siswa yang melakukan pelanggaran, termasuk yang dilakukan berulang-ulang, tetap saja ketegasan tidak muncul. Guru seperti melakukan pembiaran, yang kadang maknanya disalahtafsirkan sebagai “bukan tugas saya”. Wajar jika masalah siswa menumpuk di tangan guru BK.
Saya maklum, menjadi guru tegas memang tidak populer di kalangan siswa. Tegas oleh siswa dimaknai sebagai mengikat, kaku, formal, “kejam”, killer, tidak demokratis, dan seterusnya. Siswa biasanya cederung “memusuhi” guru tegas ini. Mereka lebih suka pada guru yang tidak usil sama urusan mereka. Makanya banyak guru yang lebih memilih “zona aman” ini. Belum lagi, tegas kepada siswa kadang harus berhadapan juga dengan orang tuanya yang membela matian-matian anaknya, meski salah.
Saya pernah kedatangan orang tua siswa complain karena saya menegur anaknya. Teman sayaguru BK pernah diancam –meski secara halus—oleh orang tua siswa karena tegas sama putranya. Lain lagi dengan teman saya yang mengajar di sekolah berbeda, ia harus berurusan dengan polisi karena masalah sepele dengan salah satu muridnya.
Siapa yang Salah?
Saya kira masalah tergerusnya rasa hormat siswa kepada gurunya sangat kompleks. Pak JK lebih menunjuk “di luar” sebagai penyebabnya. Saya yakin, mengatakan begini tidak berarti pak JK sepakat bahwa guru suci dan tidak pernah salah. Tetapi pihak luar sedikit atau banyak telah menyumbang bagi lemahnya otoritas guru.
Bagi guru, sebaiknya pernyataan pak JK dimaknai sebagai sentilan untuk dirinya. Guru perlu melihat ke dalam, misalnya, kenapa tidak tegas? Kenapa lemah untuk menegakkan kedisiplinan? Kenapa siswa kurang hormat?
Guru bagi saya bukan sekedar profesi. Guru membutuhkan totalitas pengabdian. Mendidik kecerdasan otak sekaligus kecerdasan hati siswa-siswanya. Tidak cuma di tempat kerja [sekolah], tetapi di luar sekolah melalui ketaudalanannya yang hidup. Totalitas pengabdian juga ditunjukkan melalui sikap beraninya menghadapi resiko. Tegas terhadap siswanya jika dianggap melanggar kode etik. Dalam konteks ini, sentilan JK sangat berharga bagi guru.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 30 september 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H