Lihat ke Halaman Asli

Impor Garam Saat Panen Garam

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasib petani garam sungguh seasin garam. Jika tahun lalu petani garam gagal panen karena anomaly cuaca, tahun ini panen sukses tapi harga garam merosot tajam. Penyebabnya, kebijakan pemerintah memberikan ijin kepada importir garam menjadikan harga garam lokal jauh di bawah harga pokok penjualan [HPH]. Sekali lagi nilah bukti bahwa pemerintah telah mendhalimi rakyatnya sendiri.

Kebijakan impor ini memukul petani garam di Jawa Timur, terutama Madura sebagai lumbung garam terbesar di Indonesia. Madura yang memiliki 4 kabupaten memiliki lahan garam sekitar 7.900 hektare. Masing-masing Sampang 4.200 hektare, Sumenep 2.200 hektare, Pamekasan 1.200 hektare, dan Bangkalan 300 hektare. Total di Jatim ada sekitar 35 ribu petani garam yang tersebar di Madura, Surabaya, Gersik, Lamongan, Pasuruan, Probolinggo, dan Tuban [Jawa Pos, 11/10].

Soal impor garam pemprop Jatim memang membuat aturan yang melarang impor garam 2 bulan sebelum panen hingga 2 bulan paska panen, ketika garam local seluruhnya terjual. Tetapi aturan ini disiasati oleh pengusaha dengan mengimpor garam jauh sebelum waktu yang diatur, kemudian dilepas ke pasar ketika masa panen. Akibatnya, harga garam local terpuruk.

HA Pandji Taufik, ketua Asosiasi Petani Garam Nusantara [APEKNU] –yang kebetulan asli Sumenep—ketika saya hubungi via telpon menjelaskan bahwa dalam kebijakan impor garam seperti ada sendikat antara pengusaha dan birokrasi. Akibatnya, petani garamlah yang paling dirugikan.

Sebagian lahan garam di kabupaten Sumenep ada di kecamatan saya, tepatnya di desa Gersik Putih, sekitar 7 km ke arah selatan dari desa saya. Haris, salah seorang teman saya yang menjadi petani garam, ketika saya hubungi melalui telpon menjelaskan bahwa harga garam memang anjlok. HPH garam kualitas satu [KW 1] sebesar 750 ribu/ton, harga jual di lapangan 450 ribu/ton, HPH garam KW 2 650 ribu/ton, di lapangan cuma 250 ribu/ton.

Negara Tegas Dong…

Memang data resmi menyebutkan bahwa rasio kebutuhan garam nasional dengan hasil produksi nasional tidak sebanding. Secara nasional kebutuhan garam mencapai 3.251.691 ton. Sementara produksi garam nasional hanya 1.113.118 ton. Untuk memenuhi kekurangan harus impor yang besarnya mencapai 2.615.200 ton [pidato menteri kelautan di Kongres Garam Rakyat, Bangkalan, Juli 2012]

Meski harus impor, seharusnya pemerintah tegas mengaturnya. Sampai detik ini pemerintah pusat tidak memiliki aturan yang jelas soal impor garam, mungkin juga komoditi lainnya. Hanya pemprop Jatim yang memiliki meski aturannya masih bisa disiasati oleh “sindikat” garam.

Seperti kasus tahun ini, justru impor garam terjadi saat petani garam sedang panen. Seharusnya pemerintah mengatur secara tegas dengan membolehkan impor garam setelah semua garam local terjual. Dan impor garam hanya untuk menutupi kekurangan kebutuhan garam nasional. Di samping itu, pemerintah juga harus tegas mengawal harga dasar garam yang sudah ditentukan. Sayangnya, pemerintah lembek. Negara ini seolah ringan saja dipermainkan segelintir orang yang justru jelas-jelas mendhalimi saudaranya sendiri.

Dengan luas pantai terbesar kedua di dunia, menjadi memilukan ketika garam saja harus impor. Jika kerja pemerintah seperti ini, niat tahun 2015 untuk bisa swasembada garam hanya utopia belaka. Saatnya sekarang kebijakan impor dihentikan, sebelum garam local seluruhnya habis terbeli. Kawal harga dasar garam local, sehingga petani garam bisa tersenyum dan tak seasin garamnya. Petani garam butuh Negara menyapa.

Matorsakalangkong

Sumenep | 12 september 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline