Lihat ke Halaman Asli

Keajaiban Silaturrahim

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Satu peristiwa penting yang memaknai setiap kali lebaran hadir adalah silaturrahim. Antar keluarga, para tetangga dan sahabat saling berkunjung untuk saling memafkan. Bertemu langsung secara face to face, berjabat tangan, ngobrol di selingi minimal segelas minuman dan aneka ragam kue. Inilah yang saya saksikan sebagai satu peristiwa kemanusiaan yang genuine. Satu kerinduan manusia untuk selalu hidup damai dengan sesamanya.

Mudik sebagai satu peristiwa budaya kolosal di negeri kita juga digerakkan oleh kekuatan silaturrahim. Meski “silaturrahim virtual” saat ini dalam derajat tertentu merubah pola silaturrahim, toh mudik tetap seperti bah. Jika kita saksikan berita mudik yang begitu dimanjakan TV, diliput dari atas Heli, jalanan yang meliuk-liuk laksana ular anaconda, penuh sesak oleh kendaraan. Sekali lagi jalanan penuh sesak oleh arus mudik itu digerakkan oleh kekuatan silaturrahim.

Di desa saya, ketika orang silaturrahim di hari raya tak cukup hanya membawa “diri”. Oleh-oleh, entah gula, beras, soto, “cang ngiju” yang berbentuk jelly, atau kerupuk mentah turut menyertai ketika silaturrahim. Oleh-oleh itu dianggap sebagai “tanda pengestoh” atau lambang ketulusan dari orang yang silaturrahim. Sepertinya, bertemu, ngobrol, berjabat tangan, dan senda gurau belum cukup. Dibawalah oleh-oleh sebagai simbol ketulusan yang tak mampu diucap. Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Secara etimologis, silaturrahim berasal dari bahasa arab, shilat dan rahim. Shilat berarti “menyambung”, “menjalin”, atau “menghimpun”. Sementara rahim berarti “kasih sayang”.

Apa Keajaibannya?

Lalu, apakah kekuatan yang terkandung dalam silaturrahim? Ajaib. Saya yakin kita merasakan semua. Sehabis silaturrahim dada ini seperti plong. Hati berbunga-bunga. Muncul kebahagiaan dan kenikmatan yang luar biasa. Pertemuan yang sejenak melupakan segenap beban keseharian, rutinitas, intrik, dan aneka ragam kepentingan, tiba-tiba berubah menggairahkan. Ini adalah pertemuan budaya, yang menjawab hakikat kemanusian terdalam yakni keinginan untuk hidup damai, saling menyayangi dan berbagi.

Keajaiban lainnya, silaturrahim meluluhkan konflik dan perbedaan. Laksana air, silaturrahim menyiram bara ego dan emosi yang mendidih di ubun-ubun. Silaturrahmi telah memediasi ragam ketegangan yang dibuat sebelumnya. Mengembalikannya lagi dalam keseimbangan relasi sebagai manusia yang merindukan kedamaian.

Saya pernah mengalami sendiri konflik dengan almarhum kakak saya. Saya memiliki kesalahan besar. Setahun saya menghindar bertemu dengannya. Saya takut karena ia keras, meski saya tahu almarhum kakak saya pemaaf. Didorong istri, ketika lebaran saya silaturrahim ke rumahnya. Baru tiba depan rumahnya berkecamuk pikiran antara terus atau pulang. Tetapi dengan perasaan cemas saya paksa mulut mengucap salam.

Momentum lebaran tepat. Tak mungkin kakak menyuruh saya pulang. Pas duduk langsung saya bilang.

Kak…saya mohon maaf atas kesalahan saya selama ini,”

Kalau begitu saya plong. Tak ada lagi masalah sekarang. Tapi janji, ke depan jangan kamu ulangi lagi,” kata kakak saya sangat sejuk.

Di samping meluluhkan konflik, silaturrahim juga mencerdaskan. Tak jarang ketika silaturrahim, meski ngobrol ngalur-ngidul tetapi justru muncul pikiran-pikiran cerdas dan inspiratif. Bahkan terus membekas meski berhari-hari. Bahkan dalam Hadist Nabi, silaturrahim akan menjadikan umur kita panjang dan rizki kita lancar.

Jangan Tergerus

Sayangnya, karena manusia makin didera oleh kesibukan dan makin menguatnya ego pribadi dan kelompok, silaturrahim jarang berlangsung di luar lebaran atau hari-raya. Pada hal jika tetap berlangsung dalam keseharian kita, kehidupan saya yakini akan lebih damai.

Para pemimpin kita juga jarang yang memberi contoh kepada rakyatnya. Yang terakhir, misalnya Megawati tidak hadir ke Istana untuk merayakan hari kemerdekaan. Sejatinya menurut saya Mega perlu hadir, meski berbeda dengan partai penguasa saat ini, bukan berarti harus memutus silaturrahim bukan? saya jadi ingat Gus Dur, sekuat dan setajam apa pun perbedaan beliau dengan tokoh lainnya, misalnya pak Harto, toh Gus Dur tetap bersilaturrahim.

Barangkali penting bagi kita semua menjangkarkan kembali silaturrahim dalam kehidupan kita. Lebih-lebih pemimpin negeri ini, sangat penting memberi contoh. Setidaknya, silaturrahim akan membuat kehidupan kita lebih sejuk dan damai.

Cuma silaturrahim menjadi mungkin kalau kita mau menepis ego, menekan emosi, dan menghilangkan nafsu benar sendiri. Tapi didikan puasa selama satu belun penuh, Insyaallah cukup menjadi modal kekuatan kita. Ayo silaturrahim dan buktikan keajaibannya.

Matorsakalangkong

Pulau Garam | 21 Agustus 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline