Lihat ke Halaman Asli

Membungkam Guru Kritis

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13448464711358481779

[caption id="attachment_206509" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Saya terpana membaca berita tentang tiga guru di makasar yang dimutasi hanya karena kritis kepada birokrasi di daerahnya. Tiga orang guru yang aktif di organisasi profesi guru ini menuntut tunjangan sertifikasi yang lambat dan kurang. Pada hal mereka punya bukti bahwa kementerian keuangan sudah mentransfer tunjangan sertifikasi selama 6 bulan. Sayangnya, oleh birokrasi hanya diterimakan selama 2 bulan [selengkapnya baca, Perjuangkan Nasib Guru, Tiga Guru Dimutasi]. Meski terpana, berita seperti ini sebenarnya tidak aneh bagi saya. Guru-guru di daerah -utamanya yang PNS-seringkali berada di bawah tekanan [under pressure] jika harus berhadapan dengan kebijakan birokrasi pendidikan [baca Diknas dan Kemenag]. Segenap kepentingan birokrasi pendidikan sejak suap, potongan gaji, bayar upeti, keterlambatan tunjangan, sumbangan ini dan itu, dsb. biasanya didiamkan saja sama guru. Mereka tahu, jika dilawan, resikonya sangat besar. Salah satunya bisa dimutasi seperti tiga guru di makasar itu. Atau setidaknya dipersulit jika berurusan dengan birokrasi pendidikan. Jika ada guru yang tetap kritis, berarti ia siap menerima resiko apapun. Cuma guru yang seperti ini sangat sedikit. Mayoritas guru diam saja. dengan diam setidaknya posisi relative aman. Sementara organisasi profesi guru di daerah jarang menyuarakan kepentingan guru. Hal ini wajar, mengingat organisasi profesi guru banyak yang dipegang oleh pejabat birokrasi atau setidaknya patron orang yang mencari posisi aman di hadapan birokrasi. Sebuah Pengalaman Meski berbeda kasus, madrasah saya punya pengalaman buruk dengan birokrasi [baca, kemenag]. Bersama 4 kepala madrasah lainnya, kepala madrasah saya sering mengkritisi kebijakan yang merugikan madrasah dan guru. Puncaknya terjadi ketika lima kepala madrasah menyatakan diri ingin membuat soal semester secara otonom. Sejak dulu, soal semester dibuat secara sentralistik oleh induk KKM [Kelompok Kerja Madrasah] yang dikoordinatori oleh kepala madrasah negeri. Semua madrasah swasta diwajibkan membeli soal semester kepada madrasah negeri. Soalnya tentu dibuat oleh guru-guru di madrasah negeri itu. Ketika lima madrasah tetap membuat soal secara otonom, perlakuan birokrasi pendidikan seperti "memusuhi". Hubungan madrasah mulai dengan pengawas, KKM, dan Kemenag menjadi buruk. Sangat sering dalam pertemuan-pertemuan resmi lima madrasah ini dicitrakan sebagai madrasah yang tidak mau diatur, suka melawan, dan tak mau diajak bekerjasama. Beberapa kali kepala madrasah dipanggil ke kantor Kemenag. Saya yang ikut mendampingi kepala madrasah tahu betul betapa madrasah saya sering dipersulit ketika berurusan dengan pengawas, KKM, dan Kemenag. Hingga puncaknya, lima madrasah ini dikirimi surat pemberitahuan oleh coordinator KKM yang isinya "dikeluarkan dari keanggotaan KKM". Merasa diperlakukan tidak adil, akhirnya lima kepala madrasah melakukan audiensi ke Kemenag. Lima madrasah ini menyatakan diri untuk membuat KKM baru. Setelah terjadi adu argumentasi, akhirnya Kemenag menyerah dan membatalkan surat pemberitahuan sebelumnya yang dikeluarkan oleh coordinator KKM. Tidak dalam hal ini saja, kepala madrasah saya juga sering menolak untuk memberi "upeti" yang biasanya diminta oleh birokrasi pendidikan melalui pengawas. Berbuntut Panjang Dampak dari sikap kritis ini sangat panjang. Sangat sering ketika madrasah saya berurusan dengan pengawas, KKM, dan Kemenag selalu dipersulit. Termasuk informasi apapun dari atas sering tidak dikabari dan madrasah saya justru tahu dari madrasah lain yang bersimpati. Dampak sikap kritis ini tidak hanya terjadi secara kelembagaan. Tetapi juga berimbas pada guru. Saya yang lolos ujian sertifikasi sejak tahun 2009 selalu dipingpong setiap mau minta tanda tangan sama pengawas untuk pencarian tunjangan. Tunjangan saya hanya keluar tahun 2010. Setelah itu, sudah lebih dua tahun, tunjangan saertifikasi saya tidak keluar lagi. Soal lebih dua tahun tunjangan saya tidak keluar saya maklum, karena saya tidak memiliki NRG [nomer register guru], salah satu syarat untuk pencairan tunjangan yang dikeluarkan di pertengahan tahun 2010. Tetapi anehnya, sudah hampir dua tahun saya mengurus NRG, ternyata tak keluar-keluar juga. Saya tidak mau berspekulasi, apakah tidak keluarnya NRG saya akibat sikap kritis madrasah saya? Penutup Saya sebagai guru non-PNS yang mengajar di madrasah swasta masih beruntung, karena saya lebih otonom menyuarakan kepentingan guru dan madrasah saya. Berbeda dengan teman saya yang menjadi guru PNS, rata-rata mereka hanya bisa "ngedumel" tanpa mampu bersuara. Saya bersimpati sama tiga orang guru yang dimutasi gara-gara memperjuangkan nasib koleganya. Selama benar, saya rasa tidak ada alasan untuk menyerah. Selamat berjuang. Matorsakalangkong Pulau Garam |13 Agustus 2012 sumber : Kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline