Lihat ke Halaman Asli

Menyelamatkan Senyuman

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

[caption id="attachment_138558" align="aligncenter" width="571" caption="diunduh dari google"][/caption] Seperti biasanya, aku berangkat ke tempat kerjaku sebelum semburat matahari memancarkan merah jingganya. Meski dongkol, terpaksa aku lakukan agar tak terjebak kemacetan. Kotaku memang semakin tidak aku pahami. Kemacetan seperti sulit diurai. Makin memanjang dan mengular.

Keluar rumah hanya diantar istri. Anakku semata wayang yang masih berusia 1 tahun terlelap dalam tidurnya. Tapi satu hal yang pasti aku lakukan, sebelum berangkat aku kecup keningnya. Begitu juga dengan kening istriku. Aku juga sebelum melangkah pasti tersenyum. Kebiasaan ini setidaknya menjadi penawar dongkolku, membayangkan naik bis bertemu banyak orang yang menyembulkan kegarangan di wajahnya.

Ya. Kotaku makin garang. Penduduknya seperti sulit untuk tersenyum. Di halte, dalam bis, di terminal, di jalanan, di kantor, di warung-warung makan, senyuman seperti lenyap. Wajah-wajah yang saling berpapasan seperti mesin. Tak punya perasaan. Meski lingkungan telah merubahku, tapi soal senyum aku tetap menyisakannya. Aku berpikir, di kota yang mulai mahal senyuman, aku berniat untuk menyelamatkannya.

Pagi itu dalam bis. Beruntung aku dapat tempat duduk sehingga tidak gelantungan seperti monyet. Di sebelahku seorang laki-laki kira-kira berusia 30 tahun. Dingin sekali. Bahkan tak merasa di sebelahnya ada manusia yang juga sedang duduk di bis yang sama.

Aku coba paksakan tersenyum kepadanya. Entah senyumku nampak tulus atau seperti senyuman menantang. Tapi sumpah aku sama sekali tidak bermaksud menantang. Aku hanya mau menyelamatkan senyuman.

“Ngapain ente senyum-senyum, ngajak berantem ya?”

Door. Langsung mulutku mengkem. Seleraku untuk tersenyum hilang. Begitu sulitnya senyum di kotaku. Senyum saja sudah dianggap teroris.

Di tolak tersenyum pada orang di sebelahku, aku tak sengaja mengarahkan mataku pada orang yang duduk di depanku. Secara kebetulan ia menoleh ke belakang, mungkin ingin mencari tahu kenapa orang yang duduk di sebelahku menolak senyuman. Secara terpaksa, aku pun menyunggingkan senyum kepadanya.

Buukkk. Secepat kilat tamparan tangan kekar yang sangat keras mendarat di mulutku. Mulutku berdarah. Aku tak terima. Bis yang hampir penuh dengan penumpang itu pun rame. Semua mata tertuju padaku.

“Lha…saya salah apa mas, kok main pukul segala?”

“Bego! Masih nanya lagi. Kenapa kamu tersenyum? Itu tak lazim sekarang.”

Suara saya tak mampu keluar lagi. Apalagi tatapan semua penumpang seperti tatapan srigala yang siap memangsa.

“Sok ramah sih…”

“Maklum orang kampung…”

“udah tahu orang sibuk, masih ngajak senyum.”

“sok akrab, gak kenal saja, senyum..”

Suara penumpang sahut-menyahut menyalahkanku. Aku seperti terdakwa. Senyumanku dianggap seperti pencopet. Senyumanku seperti tindakan criminal. Bayangkan, tak seorang pun penumpang dalam bis, membelaku. Penumpang dalam bis ini adalah gambaran kotaku. Sample bahwa penduduk kota ini telah membunuh senyuman.

Aku diam sambil mengusap darah di mulutku yang masih mengalir deras. Tak terasa bis sudah hampir tiba di halte dekat kantorku. Aku beringsut kearah pintu untuk siap turun. Tiba di halte, bis berhenti. Aneh, saat kaki kananku menginjak tanah untuk turun, penumpang bis bersama supir dan kondektornya malah tertawa terpingkal-pingkal.

Matorsakalangkong

Sumenep, 21 oktober 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline