Lihat ke Halaman Asli

Saya Dilarang Jadi PNS…

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13354545601263853034

[caption id="attachment_177343" align="aligncenter" width="448" caption="nisan ayah dan cucu-cucunya yang tidak pernah melihatnya"][/caption]

Ya. Saya dilarang jadi PNS. Ayah saya sendiri yang melarangnya. Titah ayah dipatuhi oleh semua anaknya. Bahkan oleh cucunya. Hingga detik ini. Entahlah nanti. Ijinkan saya di hari wafatnya menulis tentangnya. Bukan untuk narsis. Tapi sekedar ungkapan sesal atas kelakuan nakal saya terhadapnya.

Ayah saya hanya lulusan sebuah pesantren. Ia merupakan generasi awal di sebuah pesantren yang sekarang terbesar di daerah saya. lulus dari pesantren beliau mengikuti persamaan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 6 tahun.

Karena punya ijazah, ia didata menjadi guru PNS. Itu terjadi sekitar 70-an. Tetapi, hanya 5 bulan jadi PNS, ayah kemudian memutuskan berhenti. Banyak alasan kenapa ayah berhenti. Salah satunya karena pemerintah waktu itu mengikat PNS sama salah satu partai. Dan ayah karena memiliki pilihan ideology sendiri menolaknya. Beliau mundur jadi pegawai

Sejak beliau mundur jadi PNS, prahara tidak berhenti. Karena pilihan ideologinya rumah kami sering didatangi intel atau babinsa. Bahkan ayah pernah ditahan semalam di koramil yang tak jauh dari rumah. Beliau tegar. Pilihan ideologinya tak surut. Mungkin di samping ada alasan lain, alasan historis inilah yang mendorongnya melarang kami jadi PNS.

Tetapi menurut saya, itu bukan alasan satu-satunya. Pesantren, tempat ayah menghabiskan masa mudanya menuntut ilmu, selalu mengajarkan kemandirian. Selalu menganjurkan untuk tidak tergantung kepada orang. Inilah yang selalu dididikkannya.

Tak Menyerah Menyekolahkan Anak

Sepulang dari pondok, kira-kira tahun sejak akhir tahun 50-an, ayah sehari-harinya mengajar di madrasah tak jauh dari rumah. Tentu ia lakoni dengan ikhlas, karena sepeser pun ia tidak memperoleh honordari tempat mengajar. Ayah hanya mengabdikan ilmu yang diperolehnya dari pesantren, “sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat pada sesamanya”. Itulah bunyi hadis yang sangat terkenal di pesantren.

Dalam kondisi serba kekurangan, ayah melakoni apa pun. Pilihannya bertani dan berdagang. Tetapi soal pendidikan anaknya, beliau pantang menyerah. Saudara saya seluruhnya berjumlah lima, termasuk saya. Kakak yang pertama –sekarang juga almarhum—awal tahun 70-an dikuliahkan ke Jember. Kakak saya merupakan orang pertama yang kuliah di kecamatan saya.

Kakak saya ketiga dikuliahkan ke Yogya. Saya sendiri kuliah di Jakarta. Dan adik saya –perempuan—kuliah di Malang. Yang tidak kuliah Cuma kakak nomer dua, perempuan. Ia menikah setelah mondok di sebuah pesantren. Semua saudara saya sebelum kuliah dimondokkan ke pesantren almamater ayah. Hanya saya yang tidak mondok. Saya di sekolahkan di madrasah dekat rumah sejak MI hingga MA.

Meski tidak berkecukupan, soal pendidikan bagi ayah nomer satu. Ayah tidak pernah mengeluh. Ia bilang sama anak-anaknya, “orang mencari ilmu rizkinya ditanggung Allah”.

Menata Niat Belajar..

Ada dua hal yang selalu ditekankan ayah dalam mencari ilmu. Pertama, dalam belajar atau menuntut ilmu, ayah selalu menekankan untuk menata niat. Menurutnya, belajar bukan untuk mencari kerja. Belajar hakekatnya adalah menghilangkan kebodohan agar menjadi benar beribadah kepada Tuhan dan menempatkan diri dalam pergaulan dengan sesama. Belajar juga untuk meningkatkan kualitas akhlak. Soal kerja bukan tujuan, tetapi effek.

Kedua, habis belajarkami–semua anaknya—diminta untuk pulang. Bagi ayah, kurang sempurna bagi seseorang yang sudah belajar ke luar daerah, tetapi tidak mau pulang untuk membangun daerah sendiri. “parcoma sengko’masakola ba’na jeuh-jeuh, mon mare tak mole” [percuma saya menyekolahkan kamu nak…jika sudah selesai malah tidak pulang]

Dua pandangan ayah ini begitu mempengaruhi kami, anak-anaknya. Ucapannya begitu membekas. Semua anaknya habis belajar di luar daerah, pulang kampung. Dan tiba di rumah, menjalani hidup layaknya orang desa. Saya dan semua saudara tidak pernah sekali pun ikut test CPNS, sesuatu yang umumnya didambakan oleh orang tua yang mengkuliahkan anaknya.

Bahkan lucunya, ijazah kakak kami yang kuliah di Yogya baru diambil setalah hampir 20 tahun “diwakafkan” di kampusya. Untung ketika diambil dua tahun lalu, ijazahnya tidak dimakan rayap. Padangan ayah ternyata juga mempengaruhi cucu-cucunya. Mereka meski sudah lulus kuliah juga tak ada yang minat ikut test CPNS.

Lalu, Bekerja Apa?

Saya dan semua saudara mengabdikan diri di madrasah dekat rumah. Menjadi guru. Tahu sendiri, menjadi guru di madrasah dengan siswa yang mayoritas dari masyarakat bawah, tidak menjanjikan secara finansial. Tetapi Ayah lagi-lagi meyakinkan, bahwa Tuhan memberi rizki dari pintu dan arah yang tidak disangka-sangka.

Di sela-sela mengajar, kami berwiraswasta. Ada yang bertani atau berdagang, atau dua-duanya. Tentu karena kami sibuk mengajar, kami menunjuk orang lain yang jujur untuk menjalankannya. Ya, kira-kira bagi hasil.

Apakah kami susah mengais rizki di desa? Tuhan Maha Kaya. Menurut kearifan local masyarakat Madura, “Pangeran tak adu’um lako, tape adu’um rizki” (Tuhan tidak memberi orang pekerjaan, tapi memberi rizki). 4 saudara saya meski tidak bagus-bagus amat sudah punya mobil dan rumah sendiri. Saya saja yang tidak punya mobil. Hanya rumah yang dibangun ketika anak pertama lahir.

Mohon tidak dibaca bahwa pilihan menjadi PNS tidak baik. Tidak. Bukan begitu maksudnya. Ini hanya sekedar pilihan. Pesan yang hendak disampaikan ayah saya, barangkali, kalau belajar jangan jadikan pekerjaan sebagai tujuan. Belajarlah dengan penuh ketulusan, kesungguhan, da kerja keras, pekerjaan Insyaallah akan mengikutinya.

Yang tidak pernah saya lupakan, rupanya ayah ketika saya masih kuliah di Jakarta diam-diam menabung di Bank untuk S2 saya. Ketika itu tahun 1997, tabungan sudah 35 juta. Tapi dasar saya bandel, saya menolaknya meski saya sudah mengambil brosur UGM dan UI. Uang itu kemudian digunakan ayah bersama ibu menunaikan ibadah haji tahun 1999.

Ayah meninggal tanggal 25 April 2004, 2 hari setelah anak pertama saya lahir. Ya itulah mesteri. Satu lahir, satu wafat. Satu ada, satu tiada. Tulisan ini dengan penuh tulus saya persembahkan untuk memperingati wafatnya, meski lambat satu hari. Ayah…anakmu merindukanmu.

Matorsakalangkong

Sumenep, 26 april 2012

Tulisan terkait(1) Tuhan Mewarnai Aprilku (2) Belajar Menajamkan Nurani dari Orang Desa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline