Lihat ke Halaman Asli

Kisah Otonomi Anak yang Tergadai...

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari ada seorang ibu yang cerita sama istri dan saya. Pasalnya, anak laki-lakinya yang sekarang sudah duduk di kelas 4 MI masih harus diantar dan dijemput setiap masuk dan pulang sekolah. Ibu anak ini sudah mencari cara. Termasuk membelikannya sepeda, biar anaknya bisa berangkat bersama temannya. pada hal jarak rumah dengan sekolah hanya berkisar 500 meter.

Lain lagi seorang ibu, yang anak perempuannya masih TK. Kemana-mana anaknya lengket kayak perangko dan amplop dengan ibunya. Ditinggal pergi ke kemar mandi saja, misalnya, anak ini masih nangis. Ia seperti sangat tergantung kepada ibunya.

Ada lagi yang membuat saya prihatin dan kasihan setiap kali saya melihat seorang ibu. Ibu ini tidak sekedar mengantar anaknya yang duduk di kelas 4 MI, tetapi ia harus mendampinginya dari jarak yang harus dilihat oleh anaknya dari ruang kelas. Setiap hari ibu ini saya saksikan duduk di bawah pohon mangga depan kelas, hanya agar anaknya bisa melihatnya dari ruang kelas. Jika ibu ini pergi dari tempatnya, segera anaknya keluar kelas dan mencarinya.

Tiga kasus yang saya saksikan sendiri di atas, merupakan kasus anak yang tidak memiliki kemandirian. Ruang otonominya hilang, meski dalam derajat yang berbeda-beda. contoh terakhir merupakan kasus ekstrem, karena baru kali ini saya menyaksikannya sendiri, dimana seorang anak begitu sangat tergantung kepada ibunya.

Kenapa Bisa Terjadi?

Tiga orang ibu yang memiliki kasus di atas, memang kebetulan hanya punya anak tunggal. Bisa jadi, limpahan “kasih sayang” yang berlebihanmenjadikan ibu-ibu –tentu juga bapaknya—ini seperti lepas control, dengan tidak memberikan sedikit pun ruang yang memungkinkan anak bisa mengambil inisiatif.

Ibu-ibu ini mengurusi semua hal yang menjadi kebutuhan anak. Sejak usia dini anak dilayani sepenuhnya tanpa memberikan tanggung jawab bagi anak untuk melakukan tugas seusai usianya. Urusan minum saja, anak tak pernah didorong untuk berani memegang gelas sendiri. Anak tinggal mangap, dan ibunya yang meminumkannya.

Bayangkan jika semua hal atas kendali ibu. Sejak mandi, memakai pakaian, makan, mengambil mainan, merapikan mainan, dan seterusnya, jika semuanya ibu yang menyiapkan, bukankah anak kehilangan inisiatif, otonomi, dan kemandirian untuk belajar bertanggung jawab atas kebutuhan sendiri?

Jadi tak bisa disalahkan anak, jika pada usia yang seharusnya dia menemukan ruang otonominya dan belajar kemandirian, justru anak menjadi sangat tergantung kepada ibunya. Anak seperti hilang keberanian untuk mengambil tanggung jawab atas kebutuhannya.

Saya tidak bisa membayangkan, jika anak hingga menginjak dewasa tetap tergantung kepada orang tuanya, dipastikan ia akan kehilangan keseimbangan ketika harus menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhannya. Bukankah anak tak mungkin hingga tua berkumpul bersama orang tuanya?

Bagaimana Mengatasinya?

Sebelum terlambat ada baiknya, orang tua mencari tahu kenapa anaknya begitu tergantung kepada orang tuanya. Mencari tahu, berarti mencoba untuk mengurai akar masalah kenapa muncul. Sementara Jika anak kita mengalami hal seperti itu, ada beberapa langkah yang mungkin bisa dicoba.

1.Sadari dulu bahwa anak tidak selamanya berkumpul dengan orang tuanya. Semakin usianya bertambah, anak butuh ruang baru yang lebih luas. Misalnya, ia harus mengalami sosialisasi dengan teman sebayanya, tetangga sekitar rumahnya, dan seterusnya.

2.Sadari juga bahwa orang tua suatu saat bisa sakit, bahkan bisa meninggalkan anak lebih dulu karena takdir berkehendak lai. Karena itu, tak ada pilihan, orang tua harus memberikan ruang otonomi bagi anak untuk mengurusi kebutuhannya sendiri. Tanpa kesadaran seperti ini, sulit orang tua merubah mindset-nya.

3.Hindari menempatkan anak sebagai raja, yang sepenuhnya keperluannya diurus oleh orang tuanya. Perlakuan berlebihan ini hanya akan menjadikan anak miskin kreasi dan tak mampu mengambil inisiatif. Pada akhirnya kemandirian dan otonominya berada dalam bayang-bayang orang tuanya.

4.Berilah anak tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas-tugasnya sendiri dalam keluarga. Jika anak usia 5-6 tahun bisa didorong untuk merapikan kamarnya sendiri, mencuci piringnya sendiri, mandi sendiri, dan seterusnya. Seorang teman saya kepada anaknya yang masih TK memberikan tugas untuk menyiram satu pot bunga setiap pagi dan sore. Tugas itu terus diingatkan hingga akhirnya menjadi kebiasaan. Semakin besar tanggung jawab ini ditambah, sesuai dengan usianya.

5.Dorong anak untuk bisa menyelesaikan tugasnya sendiri. Jika salah, dorong ia untuk belajar dari kesalahannya dan suruh ia ulangi lagi tugasnya. Bukan malah orang tua melarang karena anak melakukan kesalahan satu hingga dua kali.

6.Jika anak sudah tergantung, kurangi ketergantungan dengan mengambil jarak dari masalahnya. Misalnya, anaknya yang harus diantar ibunya, setiap hari bisa dikurangi jaraknya. Jika hari ini hingga depan pintu gerbang, besok 50 meter dari pintu gerbang, besoknya 100 meter, dan begitu seterusnya. Satu hal yang perlu kita sadari, harus ada keberanian dari orang tua dan konsistensi dalam menjalankannya.

7.Komunikasikan sama gurunya, tetapi pilih guru idolanya. Suntikan semangat dari guru idola kadang lebih ampuh dari orang tua.

Itulah beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk mendidik kemandirian anak. kemandirian anak mahal harganya, agar otonomi anak tidak tergadai. Tak mau bukan, jika anak-anak hanya menjadi bayang-bayang dari orang tuanya? Semoga bermanfaat.

matorsakalangkong

Sumenep, 2 april 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline