Lihat ke Halaman Asli

Jauhkan Anak dari Berita Demo di TV

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1332860304904539616

[caption id="attachment_171277" align="aligncenter" width="424" caption="gambar:antarasumut.com"][/caption]

Sehabis isya’, TV biasanya menjadi giliran saya dan istri. Anak menonton film-film kartun di TV hanya siang hari. Itu pun kami batasi tidak boleh 2 jam. Batasan itu kami lakukan setelah kami membuat kesepakatan dengan anak, berapa lama ia mau menonton TV.

Malam hari biasanya kami memanfaatkan TV dengan menyimak berita. Tapi ketika kami menontonnya kadang anak kami bergabung. Sial, ketika menonton berita demo menentang rencana kenaikan harga BBM yang dilakukan mahasiswa, selalu saja berakhir dengan kekerasan.

“ Itu berita apa sih ba….,” tanya anak saya

“Demo…”

“Kenapa kok kayak gitu ba…”

“Harga bensin mau nak. Nah…yang berkumpul rame itu gak setuju sama kenaikan harga bensin. Kalau naik, yang susah kita-kita juga.”

Segera setelah menjawab seperti itu saya langsung memindahkan channel. Kalau tidak ada yang menarik untuk ditonton saya matikan saja TV. Untung anak saya tidak nanya lagi. Saya kadang capek juga menjelaskan, kenapa demo seringkali harus berakhir dengan kekerasan.

Sejak dari dulu, saya memang sering memindahkan channel atau mematikan TV ketika ada berita aksi kekerasan dalam demo waktu anak bergabung menontonnya. Saya berkeyakinan berita itu tidak baik untuk perkembangan anak. Jika saya tetap menontonnya sama saja saya menancapkan kekerasan dalam alam bawah sadar anak. ia akan menyimpan citra demo yang ditontonnya itu. Ketika mendengar kata demo, maka yang muncul pertama kali adalah kekerasan.

Apalagi dalam menayangkan berita itu, terutama TVOne dan Metro TV, sangat berlebihan. Begitu dramatis. Dengan sangat jelas bisa kita saksikan kronologi kekerasan terjadi mulai sejak membakar-bakar, saling lempar dengan aparat keamanan, mahasiswa digebuk polisi, mahasiswa diburu, mahasiswa memblokade jalan, menyandera mobil tanki BBM, dan seterusnya. Dan TV menyangkan berita itu berulang-ulang. kekerasan seperti jajanan yang laku keras, dan TV berebut untuk menyajikan secara cepat, kalau perlu ekslusif.

Sungguh disayangkan. Tidak saja pada mahasiswa/massa yang melakukan demontrasi atau keamanan yang menyikapi secaa refresif, tetapi TV juga memberitakan demo itu minus etika. TV mungkin berpikir berita itu hanya ditonton oleh orang dewasa. Pada hal, sengaja atau tidak sengaja, anak-anak kadang juga menontonnya. Maklum TV mungkin hanya menyerahkan tontonannya kepada orang tua. Jika ada yang “salah” dalam berita di TV, dan itu ditonton anak-anak, yang salah orang tua. TV selamat.

Bayangkan jika anak-anak menonton aksi demo yang ditayangkan secara vulgar di TV, demokrasi apa yang sebenarnya hendak diajarkan kepada anak-anak?

Memang, berita demo yang selalu berakhir dengan kekerasan, bukan hanya kesalahan TV. Tak mungkin ada asap, jika tidak ada apinya. Tetapi TV toh bisa memberitakan tanpa menyuguhkan gambar-gambar ketika kekerasan itu terjadi. Carilah gambar yang santun, cukup kekerasannya disampaikan dengan bahasa verbal.

Ketimbang aksi demo dengan kekerasan itu bersemayam dalam alam bawah sadar anak, disimpan rapi dalam memorinya, dan suatu saat muncul seperti singa kelaparan, mending matikan TV ketika ada aksi demo anarkhis. Tak ada gunanya belajar tentang hak menyampaikan pendapat dalam aksi yang tidak santun seperti itu.

Matorsakalangkong

Sumenep, 27 maret 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline