Lihat ke Halaman Asli

Filosofi Titi

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_145480" align="aligncenter" width="580" caption="klinik fotografi kompas"][/caption]

Gemuruh TITI di Kompasiana seakan mengalahkan gemuruh laga timnas di senayan yang baru saja usai. Meski saya tidak mengikuti secara intens perdebatan tentang TITI yang kebetulan terpilih sebagai kompasianer terpopoler, akhirnya saya tak kuasa untuk memilih diam. Tapi sayaakan mencoba menulisnya dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut filosofi TITI, yang ternyata memiliki makna mendalam.

TITI dalam kamus besar bahasa Indonesia bermakna, berjalan di titian dan atau berjalan di jalan dsb yg sempit dan panjang. TITI juga menunjuk pada benda yang menjadi penghubung satu ujung dengan ujung lainnya yang di tengahnya dipisah dengan sungai. TITI biasanya terbuat dari kayu atau bambu.

Berjalan di atas TITI membutuhkan kehati-hatian. Karena biasanya TITI tidak dibuat seperti jembatan yang luas. Di daerah saya kadang hanya rakitan 2 bambu yang ditaruh memanjang. Dan di sampingnya tidak dibuatkan pegangan. Kalau berjalan di atasnya kadang oleng kiri-kanan. Jika hilang keseimbangan bisa kecebur ke dalam sungai.

Begitu pentingnya TITI ini sehingga dalam budaya Madura misalnya, diambil sebagai analogi dalam menjalani hidup ini. guru dan tetua saya dulu sering bilang, nak…odi’ e dunnya reya cara nete e salambar obu’ (nak…hidup di dunia ini ibarat di meniti selembar rambut). Falsafah ini menegaskan bahwa hidup di dunia ini membutuhkan kehati-hatian atau lebih tepatnya keseimbangan. Keseimbangan meniscayakan hidup di tengah. Tidak ekstrem.

Jika mau jujur, salah satu masalah kerusial yang dihadapi oleh manusia modern saat ini adalah sunyinya keseimbangan. Bisa kita lihat, hilangnya keseimbangan manusia modern dalam relasinya dengan Tuhan, karena relasi hampir sepenuhnya dihabiskan pada sesuatu yang bersifat materi. Kita saksikan rusaknya alam, karena raibnya kemampuan kita menjaga keseimbangan ekologi. Amati kecenderungan meningkatnya stress, karena ketidakmampuan kita menjaga keseimbangan diri. Ya, tak ada check and balance. Masalah keseimbangan ini pula yang terjadi di level negara dan sesama anak bangsa.

Tidak itu saja, TITI, dalam pandangan muslim, diyakini menjadi batu ujian yang akan dihadapi nanti pada hari akhir. Setiap manusia di hari akhir, akan meniti di titian sekecil rambut yang dibawahnya menggelegah kobaran api neraka. Jika amal kita diterima, kita akan mudah menitinya. Jika tidak, kita akan tercebur di kedalaman api neraka. Ada yang sekejap mata meniti di atasnya. Ada yang butuh perjuangan menitinya. Dan ada yang tak mampu melakukannya. Semua itu tergantung kepada amal kita.

Kasus TITI di kompasiana, seakan menampar kesadaran kita. Menghentak ego kita. Selama ini kita menjalani hidup, termasuk berkompasiana, kadang lupa pada TITI. Pada kehati-hatian. Pada keseimbangan. Saatnya sekarang kita menoleh kembali pada keseimbangan yang kadang kita terlanjur meminggirkannya. Tanpa keseimbangan kita akan menjadi ekstremis baik atas nama agama, budaya, politik, profesi, bahasa, popularitas, dan tentu saja dalam share and connecting di kompasiana. Ingat, TITI itu ibarat selembar rambut.

Matorsakalangkong

Sumenep, 25 november 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline