[caption id="attachment_109949" align="aligncenter" width="269" caption="fineartamerica.com"][/caption] Gemuruh perdebatan tentang fakta dan fiksi di Kompasiana menarik untuk dilanjutkan. Bukan karena kebetulan meniru prilaku elit di negeri ini yang gemar berseteru, tetapi kita niati perdebatan di Kompasiana untuk menyingkap makna. Membuat terang yang gelap. Atau setidaknya, Kompasiana bisa menjadi media untuk berdebat secara santun. Untuk menjadi tempat belajar saling menghargai.
Saya ingin mulai tulisan saya ini dengan sebuah tesis bahwa, pemisahan yang tegas antara fakta dan fiksi adalah tirani pengetahuan. Yang saya maksud di sini tirani pengetahuan modern yang sangat positivistic. Ciri pengetahuan ini biasanya cenderung menempatkan sesatu secara bipolar. Kaku. Rigid.
Dalam kasus fakta dan fiksi, tirani pengetahuan terjadi dalam cara pandangnya yang menempatkan fakta di atas fiksi. Fakta adalah nyata sementara fiksi tidak. Fakta berdasar pengalaman konkret sementara fiksi berdasar pengalaman imaginative. Fakta bisa diindera, dikalkulasi, diukur sementara fiksi karena berdasar imaginasi tidak mungkin dibekukan ke dalam kerangka pengetahuan modern yang rigid itu. Akhirnya tirani pun terjadi. Fakta dianggap obyektif sementara fiksi disebut subyektif. Singkatnya, fakta dianggap lebih “gagah” ketimbang fiksi.
Itulah yang saya sebut tirani pengetahuan. Tirani ini berlangsung di mana-mana.. Kenapa? Karena pengetahuan positivistic saat ini yang menang. Semua jenis pengetahuan lain dijinakkan. Ditundukkan. Dipinggirkan.
Kenapa harus dijinakkan? Karena pengetahuan modern yang bercorak positivistic takut sama jenis pengetahuan lain yang tidak bisa dibekukan, dibakukan, dan dipastikan. Jika tidak dibekukan, dibakukan, dan dipastikan tentu akan sulit dikontrol. Pada hal control bagian dari strategi untuk berkuasa. Nah, di sinilah kita bisa memahami relasi pengetahuan dan kekuasaan.
Kesimpulan saya, letak kekuatan fiksi justru berada pada wataknya yang sulit ditundukkan. Fiksi menjadi “gagah” karena bisa melakukan perlawanan terhadap segala bentuk pengetahuan yang tiran. Bisa melampaui fakta. Menembus batas rigiditas sebagaimana dibekukan dan dibakukan oleh pengetahuan modern. Dengan imaginasi yang “liar”, fiksi menantang pengetahuan modern yang sering berkedok obyektivitas karena bersandar pada fakta. Seolah-olah, di luar fakta, tak ada obyektivitas.
Maka bagi pegiat fiksi, lanjutkan perlawanan sambil mengangankan kehidupan yang lebih baik. Fiksi yang mengangankan transformasi dan keadilan social. Dengan imaginasi yang tak terduga, fiksi saya kira bisa melakukannya.
Matorsakalangkong
Sumenep, 23 mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H