Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Mendidik Anak Jadi (Religius-)Nasionalis?

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

google.comMelihat bapak Abdul Ghafur menangis di Metro TV ketika diwawancarai soal anaknya, M. Syarif, pelaku bom bunuh diri di masjid polres Cirebon, saya begitu terharu. Tak bisa dibayangkan bagaimana remuknya bathin sang bapak dan keluarganya menerima kenyataan anaknya harus mati oleh alasan yang tidak masuk akal. Meski bagi sang anak, kematiannya akan mengantarkannya ke pintu surga. Karena keyakinan sang anak, bom bunuh diri itu adalah tindakan jihad yang mengantarnya mati syahid. Mati syahid sendiri diyakini adalah kunci masuk surga. Saya saat ini memiliki dua anak. Anak pertama seorang perempuan, Najmi al-Aldiliyah (adel)- dan masih duduk di kelas 1 MI. Anak kedua seorang laki-laki, Muhammad Abid al jabiry (abed)- saat ini masih berusia 1 tahun. Sebagai seorang ayah, saya tidak menginginkan anak saya kelak menjadi anak seperti Syarif. Anak yang karena masuk kelompok yang merasa paling benar harus menganggap ayah dan keluarganya sendiri sebagai kafir. Bahkan saya berdo'a jangan sampe deh tertarik sedikit pun pada ajaran-ajaran agama yang mendorongnya bertindak radikal. Termasuk macam NII yang akhir-akhir ini rame diberitakan. Tentu saya tidak bisa berdiam diri. Meski anak saya masih kecil saya harus melakukan sesuatu. Justru dalam usia dini, harapan saya, pendidikan yang dilakukan di keluarga dan dari madrasah yang ia terima, akan menjadi dasar yang kokoh yang memagarinya dari kelompok radikal. Saya sadar, 15-20 tahun ke depan, pertarungan ideology akan makin menggila. Keharusan bagi saya untuk melakukan sesuatu sejak sekarang. Beberapa tips mendidik anak menjadi riligius-nasionalis yang sudah dan (Insya Allah) akan saya lakukan adalah sebagai berikut :

  1. Saya perkenalkan anak saya kepada tokoh-tokoh nasionalis yang dulu berjuang melawan penjajah. Dengan begitu saya ingin menjelaskan kepada anak bahwa bangsa ini dibangun tidak gratis, tetapi diperjuangkan.
  2. Saya perkenalkan anak saya kepada bendera, burung garuda, serta symbol negara Indonesia lainnya. Inilah saya pikir cara termudah bagi anak untuk membangun imaginya tetang Indonesia
  3. Setiap ada laga atau pertandingan olah raga semisal sepak bola atau bulu tangkis saya selalu menontonnya dengan anak. Saya selalu menjelaskan tim dari Indonesia dan kenapa harus mendukungnya. Cara ini ternyata yang paling ampuh untuk "membakar" emosi kebangsaan anak-anak. Anak-anak mengalami kebangsaan melalui hiburan, melalui olahraga. Meski saya sadar jika tim Indonesia kalah terus, bisa memberikan efek yang tidak bagus juga. Tapi pinter-pentirnya orang tua untuk menjelaskannya kenapa tim Indonesia kalah.
  4. Saya perkenalkan anak pada suku dan ras lain dengan segenap kebudayaannya. Dengan begitu, dalam imagi anak akan tergambar bahwa Indonesia tidak saja dihuni oleh satu warna, tapi oleh banyak warna.
  5. Jika memilih lembaga pendidikan, seperti madrasah tempat anak saya sekolah saat ini, saya harus memilihnya yang sesuai dengan pandangan keagamaan saya yang tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), ta'addul (adil) dan tasamuh (toleran). Saya tidak akan silau dengan madrasah/sekolah favorit, atau madrasah/sekolah dengan fasilitas lengkap sekalipun, tetapi rekam jejak lembaga itu kuat afiliasinya dengan lembaga yang masih berniat mendirikan negara agama di bumi pertiwi ini.
  6. Jika anak nanti berkeinginan untuk mondok di pesantren saya akan memastikan untuk tidak mondok di pesantren-pesantren yang ideologinya radikal. Saat ini kelompok-kelompok pengusung isu negara-agama mulai banyak mendirikan pesantren dan lembaga pendidikan.
  7. Saya bersama istri akan selalu berusaha untuk menjadikan rumah sebagai surga, tempat anak-anak menemukan cinta, kasih sayang, dan kehangatan.
  8. Saya akan berusaha untuk selalu berdialog dengan anak, mendorong anak untuk berpikir kritis, tetapi santun dalam menyampaikan gagasan. Dengan begitu diharapkan anak siap bergaul dengan siapa pun, tanpa harus kehilangan jati dirinya.
  9. Selalu memohon kepada Yang Kuasa untuk selalu memberikan petunjuk kepada keluarga, termasuk anak-anak. Manusia hanya berusaha, yang memiliki petunjuk Allah SWT. Di sinilah makna do'a menjadi penting bagi saya. Wallahu a'lam.

Semoga bermanfaat. matorsakalangkong Sumenep, 10 mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline