[caption id="attachment_82044" align="aligncenter" width="300" caption="kompasiana.com"][/caption] [caption id="attachment_82041" align="aligncenter" width="300" caption="google.com"]
[/caption]
Saya mengamati wajah orang yang hidup sederhana memancarkan aura. Meneduhkan jika dipandang laksana pohon hijau yang memberi kesejukan. Tak ada wajah kusam. Karena senyum dan keceriaan wajahnya begitu kuat sebagai pantulan dari batinnya yang bening. Kebeningan batin menjadi panduan dalam melakoni hidup. Susah atau bahagia. Senang atau kena musibah. Dipuji kawan atau diserang lawan. Saya mengamati orang yang hidup sederhana begitu wajar menjalani hidup. Tak berlebih. Karena kewajaran inilah ia jauh dari hidup yang penuh beban. Sebaliknya lepas, plong, atau dalam derajat yang lebih tinggi, ikhlas. Wajar jika kebahagian terus mendekatinya. Kebahagiaan tentu tak akan mendekat jika dalam batin selalu berkecamuk karena dikendalikan oleh lamunan yang tidak masuk akal. Oleh keinginan, hasrat, nafsu yang bertolak belakang dengan kewajaran. Dan saya mengamati orang yang hidup sederhana selalu menjaga keseimbangan. Tepat takarannya. Bayangkan. Seorang yang ingin membunuh nyamuk menggunakan pistol. Seorang yang sangat sayang pada anaknya yang baru 3 tahun, memberi uang jajan 100 ribu. Bukankah contoh ini tidak pas takarannya? Hidup seimbang itu dilakoninya dalam tiga hubungan. Dengan Tuhan, manusia, dan alam. Hidup seimbang itu diwujudkan dalam ucapan dan tindakan. Hidup seimbang itu diwujudkannya dalam cinta dan benci, pola makan, berpakaian, sex (husus yang menikah). Singkatnya hidup seimbang itu menelusup dalam semua hal yang menyangkut keseharian kita. Ketika keseimbangan hilang, maka terjadi turbulensi. Oleng ke kiri atau ke kanan. Ke depan atau ke belakang. Tentu lama-lama berada dalam ketidakseimbangan akan menjadikannya pusing. Pusing dalam pengertian fisik atau batin. Hidup sederhana saat ini mahal. Makanya tak banyak orang membelinya. Sulit sekali kita menemukannya di level negara atau di masyarakat. Di level negara bisa kita saksikan, bagaimana uang rakyat dihambur-hamburkan untuk kegiatan yang tak terkait dengan rakyat. Saling sentil, ganyang, dan tikam lumrah. Jauh dari kesejukan, kewajaran, dan keseimbangan. Masih ingat pernyataan SBY tentang Yogya atau 1 HP untuk TKW? Masih ingat pernyataan petinggi PSII tentang timnas? Atau Marie Pangestu tentang pot cabe? Semua panik. Dalam situasi panik, pernyataan yang keluar tidak lagi hasil endapan nurani yang bening, wajar, sejuk, dan seimbang. Anehnya, kita juga panik. Kepanikan ditanggapi kepanikan. Maka muncullah respon, komentar, kritik yang tak dibingkai dalam takaran yang pas. Semua yang terucap dan tertulis keluar dari batin yang tak lagi bening. Kompasiana yang kita anggap rumah sehat, ternyata sudah mulai jauh dari kesederhanaan. Kisruh di dalamnya tak kalah dengan realitas di luar. Cacian, makian, keluhan, desahan, dan kritik berlebih telah memenuhi ceruk terdalam dari rumah sehat ini. Kasus yang paling anyar tentang aa gym. Banyak yang seimbang mengulasnya. Tetapi banyak juga yang berlebih. Polarisasi dan batas-batasnya jelas. Antara yang mendukung dan menolak. Hitam-putih. Seperti sulit untuk dipertemukan. Tentu mengharap seragam itu tidak mungkin. Tetapi ruang negosiasi selalu mungkin. Yang terjadi bukan negosiasi, tetapi pertengkaran. Entahlah tiba-tiba saya kangen almarhum pak Arif, guru saya yang selalu mengajarkan kesederhanaan dalam tindakan. Merespon kebahagiaan dan penderitaan dalam kesederhanan. Merespon cinta dan benci dalam keseimbangan. Melakoni hidup penuh keseimbangan, wajar, dan lapang dada. Matorsakalangkong Sumenep, 7 januari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H