[caption id="attachment_208916" align="aligncenter" width="301" caption="Para Napol di Era Orba"][/caption] "Soeharto aku kasih tahu kalau Yani cs akan diamankan dan diserahkan ke Bung Karno," kata Kolonel Latief kepadaku. Dia mengatakan itu sekitar tahun 1997. Waktu itu kami masih sama-sama mendekam di LP Cipinang. Dia sering “mendongeng” ke aku bila kami jalan pagi bersama-sama. Kakinya berkurang beberapa cm, sehingga kalau berjalan pincang. Ketika kutanya kenapa kok kakinya cacat, dia jawab karena dibayonet pasukannya Soeharto. "Kakiku sampai keluar belatung karena mereka tidak mengobati,” ujarnya. Seperti yang dia ceritakan kepadaku, Soeharto yang dimaksud adalah Soeharto yang waktu itu Pangkostrad. Kolonel Latief waktu itu memberitahu Soeharto kalau akan ada pasukan dari daerah yang menggagalkan upaya Dewan Jenderal melakukan kudeta kepada Bung Karno. Mereka berniat mengamankan Jenderal Ahmad Yani cs, dan akan diserahkan kepada Bung Karno. Latief mengatakan hal itu kepada Soeharto ketika dirinya di rumah sakit, karena Tomy anaknya dirawat karena tersiram air panas. Soeharto katanya mangut-mangut saja. Dia paham dan tidak menyatakan keberatan. Latief mengatakan hal ini karena Seoharto adalah teman karibnya sejak di Kodam Diponegoro. Soeharto juga karibnya Letkol Untung, yang nantinya menjadi komandan operasi pengamanan para Jenderal. Dalam versi orba dinamakan dengan Penculikan Pahlawan Revolusi. Tetapi , yang dilakukan Latief menjadi bencana baginya. Soeharto justru yang menumpas Gerakan Latief dan kawan-kawannya. Soeharto yang akhirnya memegang kendali kepemimpinan politik secara keseluruhan. Bung Karno tumbang. Jenderal-Jenderal Anggkatan Darat terbaik seperti Ahmad Yani, S Parman dan lainnya tewas terbunuh oleh Gerakan Latief cs. Tinggal menyisakan Jenderal Nasution, yang akhirnya juga dapat dikalahkan. Soeharto tahu gerakan pengamanan Jendera Ahmad Yani cs. Kata Latief, Soeharto tidak menolak, tapi juga tidak terlibat aktif. “Kalau tidak setuju harusnya juga menghentikan gerakan itu. Tapi membiarkannya. Setelah diberitakan Jenderal Ahmad Yani cs meninggal di Lubang Buaya, dia bergerak dan menumpas. Dia tiba-tiba menjadi musuhku,” ujar Latief. Latief masih beruntung, dia tidak langsung dieksekusi. Untung yang menjadi pemimpin operasi itu ditembak mati. Demikian juga dengan D.N. Aidi dibunuh juga. Kolonel Latief waktu itu adalah Komandan Brigif Jaya. Dia ditangkap atas perintah sobat karibnya Soeharto. Katanya, waktu ditangkap dia dibayonet kakinya. Lukanya dibiarkan tanpa pengobatan yang layak. Dia tinggal disebuah ruang isolasi di Rutan Salemba. “Aku bandel sih, suka melawan, jadi diisolasi,” ujarnya kepada ku sambir tertawa. Latief merawat kakinya sendiri. Kakinya membusuk, bahkan katanya sampai keluar belatung. “Aku saja jijik melihatnya,” keluhnya. Oleh sipir penjara, para Tapol PKI (istilah yang diberikan Orde Baru) diberi makan seadanya. Kurang protein, kurang karbohidrat, kurang vitamin. Kata Latief, agar dia bertahan dan tetap mendapat asupan protein terpaksa makan tikus. “Aku tangkap tikus yang “bezuk” aku,” kata Latief. Ketika kutanya kenapa Anda dan PKI melakukan kudeta? Latief menjawab dengan nada tinggi.”Siapa yang melakukan Kudeta. Kami ini pengawal Bung Karno yang setia. Masak kami mau mengkudeta dia? Kami ini mau melindungi beliau dari Kudeta Jenderal-Jenderal yang berpikiran barat. Kami hanya mau amankan dan lalu serahkan kepada Bung Karno,” ucapnya kepadaku dengan tegas. Tapi, kata Latief di lapangan operasinya jadi berantakan. Sebelum dibawa ke Bung Karno ada Jenderal yang terbunuh, diantaranya Ahmad Yani, MT HAryono. “Aku sendiri bingung kok jadi begini. Dul Arif sediri menurut Latief binggung, padahal dia pemimpin operasi penangkapan para Jenderal,” ujarnya lagi sambil mengenang peristiwa yang sudah lama berlalu itu. Ketika Latief bercerita, aku langsung terkenang Film Pemberontakan G30 PKI yang disutradarai Arifin C Noer. Doel Arif digambarkan seorang militer yang warna kulinya hitam sekali, serem, kejam. Juga digambarkan mukanya Untung dan DN Aidit sebagai seorang yang sadis. Tapi, kalau bertemu dengan Latief dan Bungkus, rasanya film tersebut tidak sesuai faktanya. Seperti Pak Bungkus, yang waktu itu anggota Pasukan Cakrabirawa, yang tugasnya mengawal Presiden Soekarno. Pak Bungkus ini orangnya lucu, suka bercanda. Mimik mukanya bila berbicara suka membikin lawan bicaranya ketawa. Seperti dia pernah menceritakan kejadian lucu selama menjadi Pasukan Pengaman Presiden Soekarno di Istana. “Wah Guruh itu waktu kecil bandel lho. Kita sedang baris- berbaris mengelilingi Istana tiba-tiba pasukan bubar karena Guruh menabrak kami dengan sepeda ontelnya,” ujarnya sambil memperagakan pasukan Cakrabirawa yang kocar-kacir, tercerai-berai dari barisannya. Waktu itu, tugasnya menangkap M.T. Haryono untuk diserahkan kepada Bung Karno. Rumahnya M.T. Haryono waktu itu gelap. Secara tak sengaja senapan pasukan dari kami kepencet, karena reflek merespon ada pergerakan dalam kegelapan. Setelah kami periksa ternyata ada orang yang tertembak, dan itu adalah M.T. Haryono,” katanya kepadaku. Tidak Jadi Dihukum Mati Cerita tanggal 30 September 1965, juga sempat saya dengar dari Pak Asep Suryaman. Kami sering diskusi kecil-kecilan kalau sedang berada di lapangan Bulutangkis. Pak Asep Hukumannya mati, tapi sampai lebih dari 30 tahun belum dieksekusi. Kami sering bertemu karena dia adalah Ketua Perkumpulan Bulutangkis di LP Cipinang. PBSInya Cipinang , begitu kami sering menyebutnya. Kebetulan aku juga senang bermain Bulutangkis. Pak Asep sendiri sudah memegang jabatan itu lebih dari sepuluh tahun. “Wah aku tidak diganti-ganti nih. Kayak Soeharto saja berkuasanya lama sekali,” katanya. Setelah aku tanya ke sana kemari, ternyata Pak Asep dipilih para Napi terus menerus menjadi pimpinan perkumpulan Bulutangkis karena orangnya jujur. Menurut mereka, sulit menjumpai orang jujur di Cipinang. Salah satu seloroh mereka: penipu bisa ditipu ya adanya di Cipinang. Ternyata Pak Asep memang Maois sejati. Keteladanan moral selalu dia jaga. “Kalau kita mau jadi pimpinan massa ya kita harus menjadi teladan. Kita harus sederhana, jujur, dan ulet bekerja,” katanya padaku di suatu hari ketika sedang di selnya. Pak Asep Suryaman ini adalah anggota Biro Khusus PKI. Dia adalah kader khusus yang bekerja langsung dibawah kendali D.N. Aidit. Bekerja secara rahasia, salah satu tugasnya adalah mendidik para perwira militer yang berpotensi progresif. Ketika fase awal-awal penumpasan G30S, dia belum tertangkap. Bahkan dia sempat bergerilya di sekitar Gunung Merbabu. Dalam kisah sejarah terkenal dengan sebutan Merbabu-Merapi-Merbabu-Complex (MMC). Walau hukuman mati, tapi Pak Asep bersama Pak Bungkus dan Pak Marsudi tidak dieksekusi. Bahkan mereka bertiga bersama Pak Latief bebas ketika mendapat Grasi dari Habibie pada tahun 1998. Ada cerita yang menyentuh rasa kemanusian dibalik tidak jadinya mereka dieksekusi mati. Menurut Pak Asep baginya itu menyiksa dirinya. Bila dibanding-bandingkan lebih baik langsung dieksusi mati katanya. Setiap hari Pak Asep harus menyaksikan kawan-kawanya diambil satu persatu dari sel di Rutan Salemba. “Ketika salah satu dari kami dibawa keluar pasti mereka dieksekusi mati. Sebelum si A dibawa keluar dia pasti pamit dan minta maaf, minta diampuni atas kesalahannya kepada kawan-kawanya yang akan ditinggalkan. Suasananya mencekam. Tangis, air mata, geram, marah itu yang kami rasakan saat datang kejadian itu,” ujar Pak Asep kepada ku sambil bergetar bibirnya. “Rasanya, setiap ada tanda-tanda petugas mau mengambil kami, aku mencium bau mayat. Sebuah siksaan bagiku. Jantungku berdetak keras. Apa sekarang giliranku yang akan diambil?,” ujarnya dengan wajah sedih. Salah satu yang dieksekusi mati adalah Kawan Syam. Yang dimaksud kawan Syam oleh Asep Suryaman adalah Syam Kamaruzzaman. “Ia ada di penjara, dia bukan agen ganda, dia dieksekusi juga,” ujarnya seakan mematahkan anggapan banyak pihak bahwa dia tidak dieksekusi, keberadaannya misterius karena agen ganda. Jantung Pak Asep benar-benar rasanya copot ketika pada tahun 1990, dia diambil petugas. Waktu itu tinggal bertiga yang belum dieksekusi. “Aku sempat dibawa ke atas di Kantor Kalapas Cipinang. Tapi di luar orang ramai berdemontrasi menentang eksekusi itu. Aku dibawa kembali ke sel. Tapi, rasanya aku sudah mati. Karena itu tidak mungkin, selama ini yang dibawa pasti tak kembali, “ ujar Pak Asep sambil bersyukur karena itu merupakan keajaiban. Dan memang, keajaiban terus berlanjut bagi Pak Asep. Pada tahun 1999, ketika Soeharto sudah jatuh, Presiden Habibie memberinya Grasi. Pak Asep, Pak Bungkus, Pak Marsudi, Pak Latif bebas. Mereka Napol G30S yang masih tersisa di LP Cipinang. Pak Asep bingung, tidak percaya menerima berita itu. Harusnya dia segera mengemasi barang-barang dia yang sudah dia tumpuk selama 32 tahun di penjara. Dia hanya bengong, lebih tepat seperti orang shock. “Kenapa kami yang bebas ya? Kamu kenapa belum bebas? Hukuman kalian kan tidak mencapai dua puluh tahun? Kami khan hukuman mati, tapi kok bebas?,” ujarnya dengan wajah bengong. Sedangkan Pak Bungkus malah mengeluh atas berita ini. “Trus kami ini kalau bebas mau tinggal di mana? Kami mau makan apa karena tak punya pekerjaan?, ujar mantan Sersan Kepala Pasukan Cakrabirawa ini. Bagi Pak Bungkus hidup di penjara sudah mendarah daging. Ia meyakini kalau hidupnya selamanya akan di penjara, seperti Pak Katno rekannya di Cipinang, anggota Pemuda Rakyat, yang meninggal tahun 1997. Pikirannya sudah sangat dipengaruhi kehidupan di penjara. 32 tahun bukan waktu yang singkat. Bahkan sebagian besar hidup Pak Bungkus ada di Penjara. Dia tidak tahu sama sekali kehidupan di luar. Bagi Pak Latief, apa yang dia cita-citakan terwujud. Dia kepingin melihat Soeharto jatuh dan dia masih hidup. Soeharto sudah jatuh, dan dia akan bebas. Tapi, cita-cita Soeharto mati duluan tidak tercapai. Pak Latif meninggal pada tahun 2005, lebih dulu dari Soeharto. Tapi, cita-cita dia membuat buku tentang kejahatan Soeharto tercapai. Pada tahun 2000, bukunya berjudul “Pledoi Kol. A. Latief-Soeharto Terlibat G 30 S” berhasil diterbitkan. Akhirnya mereka bebas, tinggalah kami dari PRD yang masih tersisa. Kami adalah Tahanan Politik Soeharto yang terakhir dibebaskan. Soeharto telah jatuh, tapi kami dibebaskan baru setelah Presidennya Gus DUR. Jadi kami ditahan oleh tiga Presiden. Presiden Soeharto, Presiden Habibie, dan beberapa hari di tahan ketika Gus Dur berkuasa. Sungguh beruntung bisa bertemu dengan mereka. Orang-orang yang menjadi pelaku sejarah besar perjalanan bangsa ini. Penulis : Peter Hari/www.komisiixnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H