Lihat ke Halaman Asli

Spiritual Enterpreneurship (001) Membangun Basis Kemandirian dan Kewirausahaan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Mengapa seorang muslim harus kaya? Karena kemiskinan identic dengan banyak permasalahan baru, diantaranya: 1. Ekonomi lemah berarti ibadah tidak bisa maksimal; 2. Ekonomi lemah berarti penurunan tingkat pendidikan ; 3. Ekonomi lemah berarti rendahnya tingkat kesehatan; 4. Ekonomi lemah berarti gerbang menuju penjajahan baru.

Itulah mengapa kalau kita berbicara pemberdayaan masyarakat, maka Islam mencontohkan sebuah karya sejarah yang tidak dapat terbantahkan, yaitu ketika masyarakat gurun pasir (badui) yang hidup dalam kejahiliahannya, berubah bersama Islam. Dalam 23 tahun menjadi manusia-manusia peradaban yang menguasai dunia.

Apa rahasianya? Rasulullah memulainya dengan membangun “ kemuliaan diri” kepada sahabat-sahabatnya. Kenapa? Karena itu adalah kunci untuk mengundang pertolongan Allah. Sebab bukan kehebatan program yang menjadi kunci keberhasilan pemberdayaan masyarakat, melainkan apakah turun kepada mereka pertolongan Allah, atau tidak?

“…, barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)…. “ (QS. At-Thalaq: 2-3)

Inilah buah dari pengenalan (ma’rifah) yang baik kepada Allah Swt. Karenanya siapa saja yang sedang berjuang membangun sebuah peradaban masyarakat, harus memperhatikan langkah-langkah sukses yang pernah dicontohkan seorang empower-man terbaik di dunia, Rasulullah saw.

Pertama, adalah langkah afiliasi, artinya kita harus berjibaku membangun hubungan dengan Allah dan nilai-nilai utama Islam (Al quran dan As Sunnah). Fenomena kebangkitan masyarakat Madinah tidak dapat dipisahkan dari fase perjalanan Islam yang sebelumnya, yaitu berupa penguatan sekelompok masyarakat (Assabiqunal Awwalun) di Makkah. Sehingga orang yang kemudian mengikuti peristiwa hijrah adalah orang-orang pilihan yang sudah teruji dan terseleksi selama 13 tahun di Makkah. Mereka adalah orang-orang dengan hubungan yang luar biasa baik kepada Allah. Sehingga kemanapun mereka pergi, mereka adalah elemen-elemen pengundang pertolongan Allah Swt. Itu sebabnya dalam beberapa tahun saja setelah mereka hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah yang tadinya begitu lemah, terbelakang (karena waktunya habis terjebak dalam perang saudara) serta tidak diperhitungkan, tiba-tiba menjadi sekelompok komunitas yang maju, kuat dan terlibat dalam percaturan dunia.

Maka sebuah harga mati, sebelum masyarakat digerakkan, setiap elemen pengambil kebijakan, para konsultan dan pendamping program-program pengembangan masyarakat desa harus terlebih dahulu memiliki hubungan baik dengan Allah, karena itulah langkah pertama yang harus mereka tularkan dalam membangun kesuksesan pemberdayaan kemandirian masyarakat desa.

Kedua, langkah partisipasi, artinya kita hanya menjadi orang-orang yang beramal atau bekerjasama karena Islam adalah sumber kebaikan.

Dalam Islam dikenal satu jenis manusia, yaitu, “Kuntum Khoiro Ummat …” (kalian ummat terbaik). Terbaik, karena bersama Islam setiap manusia menjadi superior (al Islamu ya’lu wala yu’la alaik – Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya). Karenanya manusia-manusia Islam adalah manusia-manusia mandiri dan penuh harga diri. Inilah mentalitas seorang muslim sejati. Mentalitas mandiri dan penuh harga diri, tidak bisa dilahirkan sekedar dari harta yang melimpah atau hidup yang berkecukupan (materialistis). Melainkan ia harus lahir dari sikap hidup yang melihat kemandirian beserta semua usaha dan kerja keras yang dilakukan, adalah bagian yang tak terpisahkan dari ibadah kepada Allah Swt.

Maka lahirlah para preneurship (orang-orang bertekad baja) di berbagai bidang baik interpreneurship (pekerja) maupun entrepreneurship (pengusaha), yang melihatt kekayaan sebagai hal yang begitu luas maknanya. Para pengusaha muslim sejati misalnya tidak melihat untung harus selalu uang, tapi bagi mereka bisnis itu bisa berupa kerja yang menjadi amal sholeh, untung itu adalah terjaganya nama baik, untung itu juga bertambahnya ilmu dan pengalaman atau bertumbuhnya relasi baru, bahkan membagi keuntungan bisnis dengan hamba Allah yang lain adalah juga merupakan keungungan yang sebenarnya dalam bisnis mereka. Merekalah para pelaku dan penggiat Spritual entrepreneur (SE).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline