Lihat ke Halaman Asli

Harga Naik, naik, naik dan naik lagi!

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428042193677211003

Baru saja landing setelah melakukan perjalalanan kerja selama 65 jam, berjalan ke arah parkir mobil, memanaskan mesin  5 menit, kemudian mengarah ke gerbang keluar dan terkejut harus membayar parkir sebesar Rp 486 ribu. Itulah pengalaman menyakitkan yang saya rasakan bulan lalu di Bandara Soekarno-Hatta. Jika dibandingkan bulan sebelumnya, parkir selama 65 jam , saya membayar sebanyak 286 ribu, sekarang saya harus menghadapi kenaikan 70%, fantastis.

Kesal dengan kenaikan yang tidak masuk akal tersebut, saya turun dari mobil setelah menepi dan tak lama kemudian meminta surat keterangan kenaikan. Si petugas parkir dengan wajah agak setengah takut menunjuk kepada spanduk yang menuliskan kenaikan mulai 1 Maret 2015. Saya masih kesal dan ingin bertemu dengan supervisor parkir, dengan menghardik akhirnya saya diantar ke kantor supervisor dan dari sana saya dapat keterangan lembut dan mereka menunjukan surat keputusan masalah kenaikan, mereka juga mengantar saya ke papan tarif lama untuk membandingkan persentase kenaikan. Saya mengambil dokumentasi dilapangan menggunakan handphone kemudian berlalu dan kembali ke mobil, kemudiani emosi makin meningkat begitu terjebak di kemacetan jalan utama Bandara.

Minggu depan nya, harga bahan bakar mobil kembali naik. Saya selalu mengisi jenis pertamax dan kini naik sebesar Rp 400 per liter, kening kembali mengkerut. Tak berhenti disitu, pada saat libur akhir minggu  harga gas juga naik, sialnya lagi pada saat ingin mengisi pulsa modem, harganya juga naik. Saya kira sudah sampai disitu saja, saat reservasi tiket pesawat harganya juga naik sekitar 15% dibandingkan bulan lalu. Walah......................makin mengkerut.

Lalu saya bertanya dalam hati, secara financial atau secara ekonomi, siapakah yang tidak merasakan efek dari semua kenaikan ini?. Tak perlu untuk pintar untuk menjawab, yang tidak merasakan efeknya adalah sebagai berikut : Presiden Jokowi dan Wakilnya Jusuf Kalla, Para Menteri, Para pejabat eselon satu dan dua, kepala Kepolisian Republik Indonesia, Panglima TNI, para perwira tingginya, Para Direktur BUMN termasuk Angkasa Pura, dan para elit lainya di organisasi Pemerintahan. Jawabnya simpel, karena aktivitas mereka dibiayai oleh Negara. Dari kenderaan, rumah, biaya makan, biaya travel, biaya kesehatan, biaya lain sebagainya, semua kita bayar. Karena kita membutuhkan mereka dengan alasan minimum yaitu untuk membuktikan bahwa Negara Indonesia itu ada. Ada presiden nya, ada wakilnya, ada menterinya, ada panglimanya dan ada pejabatnya. Namun untuk  alasan maksimum yaitu demi kesejahteraan rakyat Indonesia, harus kita akui mereka masih belajar dan kita harus bersabar karena susah memang untuk melahirkan pemimpin yang bagus, masalah ini adalah masalah terbesar semua Negara.  Tetapi mereka harus sadar bahwa penantian memiliki batas waktu, kalau tidak tiang gantung menunggu mereka, karena pada akhirnya tidak ada yang mampu menghentikan kebutuhan Rakyat.

Tahun 2015 adalah tahun semua harga naik, inflasi katanya masih terkontrol tetapi kenaikan fantasitis sudah dimulai di awal Maret dimana harga beras naik 30%, harga kebutuhan Pokok yang seharusnya mampu dikendalikan, kenyataanya bahwa pasar akhirnya mempermainkan kekuatan ril pemerintah. Tentunya pemerintah punya alasan seperti alasan dahulu kala bahwa kenaikan disebabkan musim paceklik, musim ini dan musim itu. Alasan yang gampang untuk diutarakan.

Di awal tahun nilai tukar  Rupiah sebenarnya sudah sakit-sakitan, dari 11.900 per dolar kini menjadi 13 ribuan. Hal ini memicu kenaikan bahan bakar, kenaikan tarif tol, kenaikan beras, kenaikan tarif parkir bandara, kenaikan harga tiket pesawat, kenaikan biaya komunikasi dan kenaikan lainya. Dan tidak perlu pintar lagi untuk mengetahui alasanya. Kenapa?, karena kita melakukan impor untuk menyediakan : Minyak, beras, alat-alat yang dipakai di bandara seperti pompa, lampu, TV, pengembanganrel kereta api Soekaro-Hatta, handphone, internet, sapi, garam, besi dan lainya yang tidak terucapkan. Lalu kita mampu membuat apa?. Sejauh ini mereka Cuma mampu membuat janji dan sialnya memiliki tabiat janji karet.

Sekarang saya sudah banyak memprotes dan bisa dikatakan menghina (walau mereka memang pantas di hina), lalu apa sumbangan produktif dari saya?. Sangat simpel, hanya sekedar mengingatkan Jokowi bahwa dia memiliki pemikiran “Revolusi Mental”. Dia harus sadar bahwa kata-kata revolusi sangat dekat dengan kematian karena resikonya tinggi tapi orang yang berani mengucapkan itu berarti berani mengambil resiko, kecuali dia penipu. Bagaimana revolusi itu harus dilakukan : sangat sederhana. Lakukan hal dibawah ini :

1.Lakukan kebijakan baru dalam sistem pegawai pemerintah Indonesia bahwa seorang PNS bisa di pecat, Tentara bisa di pecat, Polisi bisa dipecat jika mereka tidak berprestasi. Tidak ada istilah mutasi, tidak ada istilah non aktif dan lain sebagainya. Kami pekerja swasta juga dipecat jika tidak becus dalam bekerja lalu kenapa orang yang kami gaji mendapatkan hak istimewa, jungkir balik kah aturan itu?, jawab sendiri.

2.Lanjutkan program E KTP yang gagal tersebut dengan menggunakan konsultan yang kompeten sehingga semua gerak gerik rakyat bisa dilacak. Gerak gerik pengusaha nakal, gerak gerik pejabat nakal dan semua transaksi ekonomi yang mereka lakukan terdaftar sehingga Negara tahu siapa musuh dalam selimut.

3.Lakukan swastanisasi dinas Pajak, bahwa semua dari pegawai pajak adalah sesuai prinsip kerja swasta dan siap di pecat tanpa kompensasi jika tidak berprestasi dan tak mampu memenuhi target penerimaan pajak.

4.Brantas para mafia yang bertingkah diatas negara, baik dari berdasi dan yang bertato murahan di pasar-pasar.

5.Lakukan aliansi ekonomi ril dengan negara yang kita anggap bisa diandalkan

Yang diatas baru 5 hal, bahkan penulis dekat dengan kematian jika ini dibaca oleh para pelakunya, dan anda sebagai Presiden pencetus Revolusi Mental pasti lebih tahu resikonya

14280424091787387550

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline