Lihat ke Halaman Asli

Teuku Zulkhairi

Penulis/Dosen

Peduli Syariat, Wartawan Tidak Independen?

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1356495638755835097

Oleh Teuku Zulkhairi

Secara umum, hadirnya Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Aceh yang dideklarasikan beberapa hari lalu melahirkan dua model respon. Pertama, sebagian pihak menganggap para jurnalis yang tergabung dalam KWPSI sudah tidak independen lagi. Ini bisa kita baca dalam beberapa pemberitaan di media online. Kedua, sebagian lagi memberi dukungan, baik dukungan total maupun dukungan secara kritis. Mereka yang mendukung ini karena melihat ide ini sebagai sesuatu yang sangat baik di tengah sedikitnya dukungan dari media massa dalam membangun opini publik yang positif terhadap syari’at Islam pasca 11 tahun syari’at Islam diterapkan di Aceh.

Ragam respon ini setidaknya dengan memperhatikan jalannya diskusi-diskusi di dunia maya serta berita di media massa. Salah satu dukungan misalnya disampaikan oleh wakil ketua MPU Aceh Tgk H.Faisal Ali, yang menyampaikan apresiasi terhadap kesadaran kalangan jurnalis untuk ikut bersama-sama mengawal pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat deklarasi KWPSI beberapa waktu lalu (Serambi Indonesia, Jumat, 14 Desember 2012). Mereka yang mendukung berharap agar kehadiran kaukus ini tidak temporer berdasarkan suatu kepentingan saja, tapi betul-betul atas rasa keprihatinan atas buruknya suguhan berita tentang syari’at selama ini dan agar berupaya memperbaikinya.

Syari'at Islam dalam Opini negatif jurnalis

Suguhan berita secara negatif ini menyebabkan usaha penerapan syari’at Islam di Aceh selama ini menghadapi dilema serius, bahkan berpotensi “gagal”. Hal ini misalnya diakui oleh pakar Komunikasi IAIN Ar-Raniry, Dr A.Rani Usman yang juga Dekan Fakultas Dakwah dalam workshop “Membangun Etika Penulisan Pemberitaan Syariat Islam di Aceh” di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh beberapa waktu lalu, “Kita (media) asyik memberitakan Syariat Islam di Aceh yang negatif-negatif saja, sehingga image kita (Aceh) jelek di mata luar,”. Selain itu, “Pemberitaan Syariat Islam yang dilakukan media selama ini hanya cendurung pada peristiwa semata, seperti cambuk, razia busana, penangkapan pelaku mesum dan aliran sesat. Seharusnya media juga perlu menggali cerita di balik berita sehingga menghasilkan berita yang konprehensif dan berimbang” (Sumber: voa-islam.com, Jumat 30/11/2012).

Kalau kita mencoba menganalisa lebih jauh tentang etika pemberitaan yang menyebabkan opini dan berita tentang syari’at Islam cenderung negatif, maka kita akan menemukan sebuah hal yang ironis bahwa pelanggar syari’at Islam selama ini cenderung dicitrakan sebagai “korban”. Padahal, menurut Wakil Redaktur Serambi Indonesia Asnawi Kumar “pelaku pelanggaran Syariat Islam itu bukan korban”(The Globe Journal, Jumat (30/11/2012). Ini sebenarnya persoalan utama pada baik baik atau buruknya citra implementasi syari’at Islam di Aceh dewasa ini, bahwa sebagian kalangan jurnalis cenderung berparadigma bahwa pelanggar syari’at Islam (yang diuangkapkan oleh stakeholders syari’at Islam) itu sebagai “korban”. Seolah, syari’at Islam itu melanggar HAM. Padahal, syari’at Islam di Aceh sifatnya konstitusional.

Menakar “independesi” jurnalis

Saat isu pembentukan KWPSI ini bergema di awal-awal sebelum deklarasi, Kantor Berita Radio 68-H Jakarta langsung mempertanyakan independensi jurnalis di Aceh. Salah satu kutipan berita ini memuat statmen ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh Maimun Saleh yang mempertanyakan independensi yang dijunjung para wartawan. "Ketika mereka menyebut diri mereka penyebut pembela Syariat Islam, berarti yah sudah tidak independen. Independen kan tidak kiri tidak kanan, esensi dari jurnalisme”(Atjehpost.com, Kamis, 11 Oktober 2012).

Saya mencoba memahami bagaimana bentuk “independensi” yang dikehendaki oleh dewan pers di Indonesia. Dalam merespon hadirnya KWPSI ini, di akhir berita tersebut memuat statement wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti: Wartawan itu harusnya bentuk dukungannya dengan memberi kritik. Itulah bentuk dukungan wartawan profesional kan?”. Jadi, menurut mereka, kalau sikap jurnalis itu peduli kepada syari’at, maka sikap itu tidak independen, sementara sikap mengkritisi syari’at Islam itu adalah independen. Cara pandang seperti ini akan mengiring manusia untuk benci kepada syari’at Islam. Faktanya, kritikan yang disampaikan selama ini justru menyudukan syari’at. Seperti kritikan Majalah Tempo beberapa waktu lalu terkait bunuh diri seorang remaja putri di Langsa. Majalah Tempo mengarahkan serangannya ke Aceh, bahwa bunuh diri putri disebabkan penerapan syari’at Islam (Lihat: Tempo, edisi Senin, 17 September 2012). Pada titik ini, kita berharap agar kritik terhadap syari’at itu konstruktif dan solutif. Tanpa keduanya, setiap kritikan hanya akan memperburuk image syari’at Islam.

Dari berbagai kamus dijelaskan, bahwa Independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Intinya, independen itu tidak mengusung kepentingan pihak tertentu atau organisasi tertentu. Falsafah berfikir seperti ini sesungguhnya mengandung nilai positif jika diterapkan dengan penuh kejujuran. Seperti yang diungkapkan oleh Dr A.Rani Usman di atas, bahwa pemberitaan Syariat Islam di Aceh selama ini cenderung pada peristiwa semata. Padahal, seharusnya media dan para jurnalis juga perlu menggali cerita di balik berita sehingga menghasilkan berita yang komprehensif dan berimbang agar bisa disebut independen.

Namun, jika pemberitaannya tentang syari’at Islam cenderung hanya mengkritisi, maka bagaimana mungkin sikap ini kita sebut independen? Independensi seperti ini tidak pernah menguntungkan syari’at, bahkan cenderung akan terus menghambatnya. Bagaimana tidak, jika opini tentang syari’at selalu diberitakan negatif, maka sampai kapankah umat akan tulis mencintai dan merindukan syari’at Islam? Dengan falsafah independensi seperti ini, maka akan sangat berlebihan jika masyarakat Aceh berharap agar kalangan jurnalis turut peduli dan membela penerapan syari’at Islam di Aceh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline