Lihat ke Halaman Asli

Perempuan Berwajah Senja

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak ada yang saya mengerti tentang cinta. Semua makhluk bumi terlihat bodoh ketika memujanya. Dua hal yang saya tahu, cinta tak pernah gagal membawa rindu dan tak pernah gagal memberikan luka. Hanya sebatas itu.

~#~

Saya masih terbenam dengan rutinitas yang sama. Saban hari, saban pagi, saban siang, saban malam, saban waktu. Rutinitas yang tak pernah saya lewatkan. Rutinitas yang saya sudah muak, namun saya tak dapat melarikan diri. Menunggu lelaki itu kembali.

“Kau masih menunggunya? Ya Tuhan. Sadarlah! Kau bisa mencari yang lain dengan kecantikanmu. Untuk apa kau menantinya? Lanjutkan hidupmu. Kau bisa mati jika kau seperti ini sepanjang hidupmu! ” hardik mereka, bagai bumerang, mengutuki apa yang saya lakukan.

Mereka benar, namun saya tak sepenuhnya salah. Saya jatuh cinta. Cinta tak salah. Saya jatuh terlampau jauh mencintai lelaki itu, memberikan seluruh hidup saya meski dia tak pernah memintanya. Dia hidup saya, walau saya bukan siapa siapa. “Dia akan datang, pasti akan datang” “Dia hanya perlu waktu, dan saya memberikannya” selalu jawaban itu yang saya berikan. Jawaban yang saya harap dapat membungkam mulut-mulut mereka, sekaligus untuk menghibur diri saya sendiri. Meski saya pun tak yakin.

~#~

Mereka bilang semakin rupawan seseorang, semakin tragis kisah cintanya. Sial bukan? Untuk apa Tuhan memberikan wajah surga dan memberikan hidup bagai neraka sekaligus. Saya benci omongan orang-orang itu. Asal bicara.

Mereka bilang saya seindah senja. Dengan mata sendu seperti temaram petang. Katanya lagi, saya mampu membuat matahari malu menampakkan dirinya. Maka dia akan membenamkan diri, setiap perempuan senja datang.

Tapi mereka salah. Ada yang lebih indah. Lelaki itu.

~#~

Tepat sepuluh tahun yang lalu. Di kota ini. Kota penyebab saya seperti ini. Penyebab saya menjadi buta seluruh raga. Saya melihat sosoknya di ujung jalan itu, tepat dibawah lampu jalan yang temaram. Waktu itu langit berwarna kemerahan, tanda senja sudah tak sabar menenggelamkan matahari. Air hujan yang jatuh hingga harum tanah basah yang menyeruak, kian menambah keindahan senja. Saya kira senja satu satunya yang paling indah, namun ternyata ada yang mampu mengalahkannya. Lelaki itu. Ah, dia lebih indah dibanding senja. Cukup membuat saya menghentikan kaki sejenak tertahan pesona. Namun tak cukup menarik bagi saya, hingga saya mau rela basah terguyur hujan yang kian menjadi-jadi. Saya pergi saat itu juga, menyelamatkan diri dari hujan, menuju kedai kopi di seberang. Terpikir sekarang, harusnya jika tahu akan jadi begini, saya pasti akan pergi lebih jauh waktu itu. Agar saya masih sempat menyelematkan diri, dari lelaki itu.

~#~

Entah bagaimana waktu merencanakannya. Saya sudah lupa kapan tepatnya pertemuan-pertemuan selanjutnya. Mungkin tahun yang kesekian, atau kesekian. Ah, kira-kira begitulah. Yang saya ingat kami sudah bersama cukup lama. Dan saya sudah mencintainya saat itu. Dia? Dia hanya bilang kalau saya yang terbaik. Kemudian sejak itu dia tak pernah pergi dari ingatan.

~#~

“Kau harus tampil cantik hari ini, lebih cantik dari yang biasa saya lihat.” Rayunya sambil mengulum senyum. “Saya tak mau.” Ucap saya, lirih. Bagaimana bisa, dia meminta saya melakukan itu, jerit saya pilu dalam hati. Saya mencoba tak menjerit hingga memekik. Saya tak mau lelaki itu tahu. “Tak bisakah? Demi saya?” pintanya merajuk. Ya Tuhan! Apa yang tak saya lakukan demi dia. Semuanya, apapun itu, saya rela. Tatapannya lebih serius dari sebelumnya. Tidak pernah saya melihat mata yang biasanya bersinar itu, terlihat sendu. Akhirnya saya menyerah, saya mengangguk dan mengiyakan. Dia meloncat kegirangan seperti habis menang lotre, memeluk tubuh saya sangat erat, lebih erat dari yang biasa dia lakukan selama bertahun tahun kami bersama. Saya menangis saat itu. Saya menutup mulut serapat-rapatnya, agar dia tak mendengarkan tangisan saya. Semoga lelaki itu tak mendengarkan apa apa. Biar saya yang tanggung semua, dari awal ini sudah salah. Harusnya saya lebih siap untuk hari ini. Toh, sudah jauh-jauh hari dia menyampaikan kabar itu.

~#~

“Saya akan menikah.” Mata saya terbelalak. Tercekat.

“Dia wanita yang baik. Kau pasti akan menyukainya. Dia suka sekali makan banyak seperti kau. Suka sekali bernyanyi sepanjang jalan. Suka sekali memarahi saya ini itu. Persis seperti kau. Bedanya kau dengan dia, kau lebih cantik.” Senyumnya mengembang, matanya berbinar. Sungguh pembunuh hati berwajah malaikat. Kalau saya dengan wanita itu sama, mengapa bukan saya yang kau tunjuk. Mengapa bukan saya yang kau nikahi!

Pikiran saya kosong. Tinggal menunggu iblis menggantikan raga saya yang kehilangan jiwa. Sekujur tubuh mati rasa. Siapapun tolong saya!

~#~

Lukisan busuk ini tak kunjung selesai. Hampir sepanjang malam saya mengerjakannya, sejak lelaki itu pergi, selepas memberi luka. Kini dia membiarkan saya merindu sendirian. Kejam sekali bukan? tak bisakah dia sekedar memberi kabar, apa dia baik baik saja atau dimana dia sekarang. Sehingga saya tak perlu tersiksa sepanjang pagi hingga malam menatap wajahnya yang tergores di kanvas. Berbicara dengan wujudnya pada lukisan, yang tak pernah selesai ini.

“Kau masih melukisnya? Sungguh. Kau terlampau gila” mereka menghardik saya habis habisan. “Sadarlah, lihat sekelilingmu, semua sudut ruangan, sudah wajah lelaki itu. Apa lagi yang akan kau lukis? Ini hanya menambah lukamu saja.” kini mereka mulai memelankan suara.

Saya tetap melanjutkan lukisan saya. Tak sedikitpun saya akan menoleh ke mereka. Mereka tahu apa tentang luka saya? Tahu apa tentang rindu yang tercampur oleh luka itu sendiri? Mereka tak tahu rasanya menjadi pilihan Tuhan, diberi wajah menawan sekaligus neraka untuk hidupnya.

“Dengar, kau tahu. Kau tahu semuanya. Lelaki itu sudah mati!” Mereka mengguncang tubuh saya, salah satu dari mereka menatap saya penuh duka. Saya tak bergeming. Saya tak begitu terkejut. Saya tak mungkin tidak tahu.

“Kau sendiri yang melihat mayatnya. Kau sudah melihatnya. Lalu buat apa kau menunggunya? Buat apa? Bagaimana kau bisa yakin dia akan kembali? Dia tak akan kembali. Bertemulah di kehidupan selanjutnya. Sekarang, lanjutkan hidupmu dulu. Sekali lagi, Sadarlah!”

Saya tetap diam. Tangan saya dingin, wajah saya memucat. Mereka kehabisan akal. Jika sudah begini, mereka akan menyerah dan pergi.

Sambil berlalu, mereka berbisik satu sama lain. Tak perlu terdengar jelas, saya sudah lebih dulu tahu apa yang akan mereka katakan.

“Bagaimana lelaki itu bisa mati?” tanya yang satunya penasaran “Mayatnya ditemukan diruang persiapan pengantin, di tikam tepat dihati.” Mereka tercekat. Bergidik ngeri.

“Siapa pembunuhnya kira-kira?” mereka saling menoleh, tak ada jawaban.

“Calon mertuanya bilang, dia sempat melihat seorang perempuan melintas diruangan itu, sebelum mayatnya ditemukan.” Mereka semakin berbisik, nyaris tak terdengar. “Perempuan berwajah senja katanya....” Saya menjatuhkan kuas, saya menoleh pada mereka. Mata saya melotot.

Rindu dan luka. Cinta tak pernah gagal menghadirkannya. Satu lagi, berhati-hatilah jatuh cinta. Cinta juga tak pernah gagal merampas akal sehat.

Jakarta, 29 Februari 1979

Di sudut kota yang temaram

-Puput Emilifia-

Keterangan :

Diterbitkan di Buku antologi #ProjectMenulis berjudul "Love Never Fails" kategori Perorangan #2 oleh nulisbuku.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline