Lihat ke Halaman Asli

Inilah Bangsaku, Yakinlah Satu

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gemah Ripah Loh Jinawi

Bangsa kita memanglah kaya, dengan sumber daya alam yang terhampar dari Sabang hingga Merauke. Bangsa yang penuh gunung-gununggagah. Sungai-sungai besar suburkan tanah yang dilaluinya. Dari setiap gunung mereka berhulu, hingga sampai pada hilir dan berlayarlah perahu. Sebuah bangsa yang memiliki banyak pulau, dengan kebudayaan dan tradisi yang berbeda-beda. Dan dari semua itulah masalah bangsa ini bermula. Segala sumber daya alam, keanekaragaman bahasa, dan tradisi, tak disadari telah menjadi boomerang bagi kestabilan bangsa.

Memang cara termudah dari sebuah penjajahan adalah melalui mental, budaya dan ekonomi. Sebuah penjajahan yang kasat mata. Kampanye pasar bebas yang begitu menggebu seperti membuka keran eksploitasi besar-besaran pada bangsa yang sedang tumbuh berkembang ini. Akulturasi budaya yang diagungkan, sangatlah riskan juga, bila kita tak dengan kuat melestarikannya dan tetap menanamkan rasa peduli terhadap budaya terhadap anak cucu kita. Iming-iming gaji besar yang dihadapkan pada para inteletual muda oleh bagsa asing juga perlu kita jadikan cambukl agar kita lebih menghargai karya anak bangsa. Sperti mobil ESEMKA yang sempat booming beberapa bulan yang lalu.

Semua orang tergiur untuk mengeruk sumber daya alam yang ada. Silih berganti para investor asing menggerayangi bangsa. Memindahkan kekayaan kita ke negeri mereka. Berbagai tradisi yang elok silih berganti dipelajari oleh foreigner, dan kita malah asyik duduk terdiam menikmati hak kita yang “dicuri”. Bermacam orang cerdas dan pintar pada bidangnya mereka ungsikan secara bergilir, hingga kita tampak bodoh di mata dunia.

Tak satupun bangsa yang ingin tampak bodoh, miskin dan lemah. Tak satupun dari berjuta masyarakat bangsa menginginkan “penindasan” yang beralasan. Bangsa ini lemah karena manusianya tak pernah belajar untuk menghargai, tak pernah berguru untuk menghormati, dan lebih asyik menjadi budak non-pribumi. Kita terlahir kaya, dari keturunan homo sapiens yang kecerdasannya diatas rata-rata masyrakat purba yang lain. sangat ironis bukan jika kita memilih untuk tertinggal? Jika tak seorangpun pelacur yang ingin anaknya jadi pelacur, maka saya lebih setuju jika tak ada satupun bangsa kaya yang pemimpinnya ingin masyarakat menderita.

Bhineka Tunggal Ika, Berbeda Tetapi Tetap Satu Jua

Semboyan yang sangat mahsyur, dan pastilah kita telah mendengarnya sejak kita masih duduk di bangku SD/MI sederajat. Sebuah semboyan yang di ucapkan oleh Empu Kanwa pada kitab Sutasoma. Saat itu saya masih kecil, bertanya-tanya tentang apa itu sebuah persatuan. Apakah bergandengan tangan bersama-sama, atau bernyanyi bersama dalam lingkaran, atau mungkin dalam sebuah permainan saya memiliki teman yang berbeda kelas, dan tetap bermain bersama.

Belum tuntas masalah anarkisme Bonek, perang saraf BBM, UU pemilu, dan “Musibah” Lapindo, bangsa kita lagi-lagi dibuat tertunduk lesu oleh tindakan premanisme yang dilakukan oleh sebuah geng motor di Jakarta. Aksi yang dilakukan pada malam hari tersebut sontak membuat oknum kepolisian kebakaran jenggot. Lagi dan lagi mereka kecolongan untuk kesekian kalinya. Betapa tidak, beberapa bulan lalu masyarakat dihebohkan oleh penyerangan Rumah Sakit di Jakarta, yang dilakukan oleh segerombolan preman, dan mengakibatkan dua orang terbunuh. Entah apa alasan dan motif sebenarnya yang tersembunyi di balik kedua peristiwa tersebut.

Keresahan demi keresahan selalu muncul dan jarang sekali tersolusikan. Lagi dan lagi selalu ada kambing hitam dalam setiap masalah. Seperti tumbal yang dijadikan pondasi jembatan hegemoni kekuasaan. Beberapa pihak mengatakan bahwa geng tersebut beranggotakan serdadu TNI. Entah, mendapatkan sumber dari mana. Apakah karena model rambutnya yang satu senti atau karena perwakan mereka yang tegap dan gagah. Atau hanya sekedar kambing “satu senti”?

Aksi kekerasan dan anarkisme oleh anggota geng motor yang kembali muncul tidak hanya disebabkan oleh kurang disiplinnya aparat keamanan dalam menegakkan hukum. Namun juga dikarenakan sifat primordial yang telah mengakar, dimana pada akhirnya menumbuhkan sikap fanatik yang berlebih pada golongannya saja. Merasa benar dan kebal terhadap hukum yang berlaku. Melupakan asas-asas serta norma yang menata keharmonisan masyarakat sejak dari masa Empu Kanwa.

Sebuah kejadian langka menurut saya, dalam bangsa ini, jika sebuah geng motor mampu membuat pihak kepolisian seperti tak punya taring dalam menegakkan hukum. Sebuah geng yang mampu membuat semua mata tertuju padanya, sanggup mengalahkan berita pergantian personil yang dilakukan oleh Cherry Bell, dan juga sebuah geng yang sanggup menunjukkan “sangarnya” Jakarta. Dan, seharusnya pemerintah seharusnya berterimakasih kepada mereka. Karena mampu membuat kita amnesia akan BBM yang hampir pasti naik, amnesia akan kasus Century dan Si Din (korupsi Nazaruddin) yang belum juga usai, masih mengalami kebingungan dalam melakukan vonis yang ”pas” terhadapnya, dan beberapa kasus lain yang tak lagi terekspose oleh media.

Sebuah masalah tentulah membuat kita resah. Berfikir hingga kepala hampir pecah. Menelisik segala hal yang memungkinkan menjadi pemicu awal dari semua masalah yang sedang mendera. Tak perduli pejabat elit maupun masyarakat biasa, buruh tani ataupun pegawai negeri, semua individu memiliki pemahaman tersendiri akan sebuah masalah yang sedang dihadapi oleh negeri. Dan juga, pada dasarnya masyarakat ataupun pejabat selalu mencari solusi atas masalah bangsa yang begitu rumit. Dengan bermacam sudut pandang dan data yang berbeda untuk mendapatkan cara tepat guna bagi bangsa, dengan berbagai aksi ataupun hanya sekedar kritik yang mebangun.

Segala syak wasangka memanglah selalu ada, dalam bangsa yang pernah gagah dan mahsyur pada zamannya. Namun dalam kesemua itu, kita perlu memahami bahwa cita-cita bangsa ini tetaplah sama. bertenggang rasa antar sesama, menciptakan keadilan pada pelaksanaan hukum, serta melakukan assimilasi terhadap segala perbedaan yang ada pada bangsa. Menghapus pluralisme yang primordial, agar fandalisme yang meresahkan masyarakat tidak terulang kembali di kemudian hari.

Fariq Shiddiq Tasaufy

Surabaya, 21 April 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline