Luapan wewangian tawa yang menyergap ingatan tentang jejak kesadaran yang semakin tersapu oleh lumpur kedengkian merupakan bentuk suatu kekotoran jiwa, layaknya laut tak pernah surut dikala angin kencang. Ia rupanya telah kehilangan langkah sebagai manusia yang bereksistensi dalam zona gelap saat ini. Upaya mencari teman, sahabat bahkan saudara tak kunjung ia temui. di sela-sela waktu yang cukup panjang serta dinamika kehidupan yang begitu kompleks tak memberi jawaban antara apakah terus berlari atau berhenti memberi jeda.
Ia seringkali merenung dan mencoba memahami bahwa pikiran selalu jadi racun pembunuh realitas dirinya. Kerap mengotak-atik pikiran hanya menyisakan kekecewaan yang amat dalam. Dunia saat ini yang serba target, analisa, konsep hanyalah berupa ilusi baginya. Ia tak menengok apakah dibelakang ada sebuah pelajaran istemewa yang mungkin bisa menyuplai andrenalin agar bisa berdiri di tengah arus yang rumit ini atau melakukan aksi kecil untuk merubah masa depan yang lebih baik.
Namun, apakah masa lalu dan masa depan adalah kenyataan ? lalu dimana letak kenyataan itu ? sesuatu yang benar-benar nyata tanpa di pahami lebih dalampun ia akan tetap nyata. Takan berkurang nilainya.
Seringkali terkadang manusia terjebak dan gagal memahami mana asumsi dan mana realitas, mana buah pikiran dan mana kenyataan. Ada yang menyebutkan hidup ini keras, hidup ini kejam, hidup ini terjal dan tak mudah melewati rintangan untuk menuju suatu kebahagiaan. Apakah semua yang lahir dari pikiran itu suatau kebenaran tentang dirinya atau apa yang di ucapkan lewat mulut semua pasti menjadi menjadi kenyataan.
Entahlah, terkadang keinginan itu susah dilepas, keinginan untuk menjadi orang pintar, pandai, kaya, cerdas, berkuasa itu hanya bagian dari bentuk imajinasi seseorang yang di anggap sebagai jaminan suatu kepastian. Terlalu sibuk menyusun prioritas, hingga tak mampu membedakan mana kebutuhan dan mena keinginan. Hingga selalu merasa kurang, kekurangan menjadi indikasi kekerasan jika tak bisa dikendalikan.
Di tengah-tengah budaya konsumerisme untuk menjaga jarak dengan hasrat komunal adalah sesuatu yang tidak mudah di lakukan. Identitas, citra, prestige, gelar, materi dll. Sudah menjadi sahabat karib bagi manusia kekinian. Taka landasan kritis untuk memahami apakah kesemuanya itu buruk atau baik, benar atau salah, etis atau tidak etis. Sehingga jika demikian dibiarkan tanpa memfilter dahulu akan membunuh kesadaran manusia menuju kebenaran sejati.
Pada akhirnya sesuatu yang sering dianggap baik belum tentu memiliki kualitas yang bermutu dan istimewa. sebaliknya, sebuah tantangan, ujian, masalah, polemic, konflik dan serupa kondisi lainya. yang secara kasat pikir kita anggap sebagai monster yang menakutkan, sejatinya ia adalah perihal yang menyimpan banyak kejayaan dan kedewasaan sebagai bentuk spirit untuk tetap merasa tenang dan senang dalam kondisi apapun.
Namun kendati demikian, masih merupakan hal yang wajar, ketika permukaan menjadi kecenderungan banyak orang. Menjadi sorotan utama bagi setiap orang. Tapi tak jarang orang paham, di balik permukaan itu bisa saja mengandung ribuan makna, mengandung unsur yang tak terduga yang mencerahkan jiwa. Tapi peradaban manusia yang semakin maju hanya melahirnya kesulitan manusia untuk kembali kepada kesadaran yang otentik.
Ia mungkin tak benar-benar paham, segala etitas-entitas yang melekat pada tubuh padakhirnya juga akan diminta dengan paksa. Ia juga tak paham bahwa dengan hanya bergumam panjang, tak akan bisa menyelesaikan semua persoalan. Seperti ribuan teori masak dikepala tak akan bisa membuat perut kenyang. Diam dan merenung mungkin lebih baik ketimbang bicara panjang tanpa makna apa-apa.
---------
sumber photo