Saya sedikit ketinggalan info soal Presiden SBY mensomasi Sri Mulyono atas tulisannya yang di posting di KOmpasiana yang berjudul “Anas : Kejarlah Daku, kau Terungkap.’rupanya postingan tersebut menjadi isu terhangat yang jadi perbicangan dan diangkat oleh sejumlah media nasional. Dan para Kompasianer pun mengulas pandangan mereka dari sudut pandang berbeda. Ada yang mendukung Sri Mulyono, adapula yang menentang dan tak sedikit yang apatis, netral.
Seperti yang kita ketahui belakangan Negara ini sudah tidak jelas lagi antara yang benar dengan yang salah. Kabur sangat. Kebenaran dan kesalahan itu hanya setipis kulit ari. media pun membuat fikiran kita semakin rancu. Sebab, perusahaan informasi itu berangkat dari idealisme masing-masing. Ada yang membela satu tokoh, ada pula yang menyerang secara membabi buta.
Begitupun dengan kasus yang menimpa Anas Urbaningrum. public mendapat dua versi. Pertama AU bersalah dengan fakta sebagai koruptor setelah mantan ketum democrat itu ditetapkan sebagai tersangka. Versi lain ; public digiring oleh media bahwa AU sebenarnya di zolimi oleh kekuasaan—sudah sejak lama ingin disingkirkan oleh pihak Cikeas. Berikut kronologi yang runtun ditulis oleh media masa. Dari mulai proses pencalonan, sampai menjadi ketua umum, hingga mundur setelah status tersangka dikeluarkan oleh KPK.
Dalam pemberitaan di layar kaca sering kita liat. Jika ada nama seseorang yang disebut sebagai terduga korupsi. Yang bersangkutan pasti membantahnya. Belum ada satupun tersangka koruptor yang mengaku salah, walaupun ujung-ujungnya tetap di Bui KPK. Lalu mereka berdalih “Saya di zholimi.” Nazarudin pun melakukan demikian, termasuk tersangka kasus korupsi pengadaan Al Quran hingga Akil Muchtar yang menyebut dirinya seolah-olah ‘dijebak.’ Akhirnya kita bingung.
Sebagai penulis yang setia memposting tulisannya di Kompasiana, Kompasianer mempunyai semangat berbeda dalam menulis. Beragam isu hangat diulas dengan pendapat masing-masing penulis. Isu politik contohnya, ada yang menulis sebagai bentuk dukungan kepada Capres tertentu. Ada pula yang yang mengkritik, menyerang dan menjelekan tokoh tertentu dengan alasan sederhana, tidak suka.
Begitupun juga saya melihat semangat Sri Mulyono dalam menulis di Kompasiana. Dia cendrung mengkritik keluarga Cikeas dan memuji Anas urbaningrum, sahabat dia di PPI. Bagi saya tidak ada salahnya. Yang salah ketika ada yang mempermasalahkan, seperti yang dilakukan Presiden SBY kepada aktivis PPI.
Jika kita perhatikan pemeberitaan yang hilir-mudik tiap hari, ataupun pendapat personal banyak yang tidak menyukai SBY. Malahan lebih keras dengan apa yang ditulis oleh Sri Mulyono. Lalu… kenapa ketika SM yang mengkritik Presiden reaktif. Mungkin lantaran sahabat AU yang sama-sama dibawah paying PPI atau apa? Kita hanya bisa menduga-duga.
Reaksi Presiden SBY (baca; democrat) terlihat sangat kentara apabila AU dan pendukungnya melontarkan kritikan kepada democrat. Contoh ; tentang Sapi Qurban Idul Adha beberapa waktu lalu, peluang Capres Kovensi Partai democrat dan lain-lain. Semuanya pasti di counter balik oleh elite democrat.
Sebagai Presiden yang memegang tampuk kekuasaan saat ini seharusnya SBY bijak menanggapi semua kritikan dan persoalan. Pasca reformasi—zaman keterbukaan saat ini semua bebas berbicara dan mengkritik. Umumnya kritikan selalu ditujukan kepada yang sedang berkuasa. Itulah dampak negatifnya bagi penguasa. Positifnya kan juga banyak. Mosok, positifnya saja yang disukai dan bila giliran tidak enaknya berang. Kan bukan ciri-ciri pemimpin yang bijak.
Dalam fenomena isu saya dan berpendapat lebih baik yang dikritik diam, dari pada bereaksi. Semakin bereaksi maka isu tersebut semakin liar. Positingan SM ini contohnya. Andaikan tidak ada somasi dari Presiden mungkin isi tulisan SM tersebut hanya dikosumsi para kompasiana dan pembaca dikalangan terbatas. Tapi , lantaran disomasi maka isi tulisan tersebut diketahui masyarakat luas. Sebab diangkat oleh sejumlah TV dan media nasional. Bahkan menjadi isu utama, Headline. Yang rugi pun Presiden SBY dan keluarganya. Bahkan masyarakat awam pun mencari-cari isi tulisan SM tersebut, berikut dengan pendapat beraneka ragam. SM menjadi terkenal. Semula hanya dikenal oleh kalangan tertentu sekarang public luas mengetahui fungsionaris PPI itu. Bahkan mulai mencari-cari di Google sepak terjang SM selama ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H