Lihat ke Halaman Asli

Jefri Hidayat

Saya bermukim di Padang, Sumbar. Hobi menulis.

Ketika Urang Awak Marantau

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Merantau merupakan salah satu tradisi orang minang. Merujuk pada istilah local yang mengatakan “padi tak besar di persemaian.”ungkapan membuat anak-anak muda  di minangkabau berlomba-lomba menuju tanah seberang. Sehingga, ketika lebaran datang, penduduk Sumatera Barat melonjak menjadi dua kali lipat. Hal ini dibuktikan dengan kemacetan yang begitu parah ketika musim Idul Fitri. Dan umumnya mobil dan motor yang berseleweran dijalanan non BA (tanda nomor Sumbar).

Sebelum merantau para tetua kampong atau yang dituakan memberikan sedikit wejangan pada calon perantau. Diantaranya ; kalau mandi dihilia-hilia dan kalau mangecek marandah-randah yang artinya hidup di negeri orang jangnlah sombong, tinggi hati dan selalu mengalah. Hal ini juga didukung beberapa ungkapan—mundur selangkah  untuk maju beberapa langkah.

Selain itu para orang tua juga berpesan pada anaknya yang akan menginjakan kakinya ke tanah seberang. “jan lupo dunsanak dicari dulu,” artinya jika sudah sampai di negeri orang carilah kawan, saudara dan induk semang (bos). Sebab, mereka lah yang akan membantu duluan ketika mendapat masalah dan kesusahan.

Di perkotaan yang umumnya tempat tujuan pendatang sering kita menemukan nama kampong dengan menyebut etnis yang mendiami seperti ; kampong jawa, kampong Ambon, kampong melayu dan lain-lain. Tapi belum pernah kita mendengar--kampong minang. Hal ini menandakan bahwa orang minang selalu mencari suasana dan lingkungan baru tidak mau tinggal pada satu titik dengan saudara dan kerabat.

Sementara waktu, masyarakat minang memang tinggal bersama saudara, kerabat atau dengan orang yang mempunyai ikatan darah dan kesukuan. Namun, ketika sudah mandiri perantau minang akan mencari tempat baru untuk mereka menetap. Dikampuang itu yo basobok, dirantau  itu yo ndak batambah wawasan kito d0, begitu orang minang berpendapat.

Selanjutnya,  jan buek malu urang awak. Pesan ini mungkin juga sama dengan pesan orang tua pada umumnya yakni hindari berbuat curang seperi mencuri, menipu, mencopet dan perbuatan tercela lainnya.

Dan yang terakhir : jangan tinggalkan shalat dan pegang teguh tradisi budaya dan minang. Falsafah adat minang adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah menjadikan minang sebagai etnis yang agamis. Walaupun sekarang adat, agama dan budaya tersebut sudah tergerus oleh perkembangan zaman. Namun, dibeberapa daerah adat dan budayat tersebut masih melekat dan terus menjadi tradisi yang turun menurun.

Banyak memang orang minang yang berhasil di rantau, dan tak sedikit pula yang gagal dan mereka umumnya bergerak pada sector perdagangan. Sehingga ada sebuah anekdot yang berkembang dikalangan orang minang. “dima ado pasa disitu ado urang awak.” minimal Rumah Makan Padang hampir ada disetiap pusat keramaian dan perdagangan.

Dan satu hal yang membuat orang minang bangga dengan perantau. Ketika urang awak berhasil di tanah rantau dia tak pernah lupa dengan tanah kelahirannya. Menjelang lebaran dia akan bilang. “rayo bisuak pulang basamo wak yo?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline