Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono memberikan pernyataan bahwa Partai Demokrat yang ia pimpin telah resmi bergabung kedalam Koalisi Merah Putih (KMP), pimpinan Prabowo Subianto. Statemen tersebut dikemukan SBY melalui akun Twitternya kemaren. Sebelum bergabung, katanya, Presiden mengajukan sebuah syarat yaitu bahwa KMP harus menyetujui Perppu yang telah dikeluarkan pemerintah pekan lalu. KMP pun setuju, dan Demokrat secara sah resmi bergabung.
Pernyataan SBY tersebut sekaligus menjawab taka-teki selama ini kemana arah partai demokrat berlabuh. Meskipun sebelumnya SBY selalu mengatakan bahwa demokrat tidak akan berada pada salah satu kubu, namun fakta selama ini telah mengisyaratkan bahwa sebenarnya sejak Pilpres lalu Demokrat telah merapat ke KMP.
Hadirnya tokoh-tokoh demokrat di berbagai kegiatan Prabowo dapat dijadikan tolak ukur kemana arah demokrat sebenarnya. Namun, petinggi demokrat tetap membantah dan berkali-kali menyebut partai berlambang bintang Mercy itu sebagai penyeimbang. Dan elite demokrat sering menyebut bahwa yang dilakukan oleh kader bukan mempresentasikan partai, dukungan individu dan alasan-alasannya.
Secara politik demokrat telah mengecap manisnya berkuasa, tapi untuk melabuhkan perahu ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pimpinan PDIP menemui banyak kendala. Terlebih lagi alasan klasik : komunikasi SBY dengan Megawati belum juga cair, ego masing-masing tokoh ini menjadi alasan yang teramat berat untuk mempertemukan mereka berdua.
Kebuntuan komunikasi dengan Megawati, menjadikan alasan kuat Demokrat bahwa bergabung ke pemerintahan menjadi tidak mungkin, meskipun politik dinamis dan kepentingan jadi alasan keputusan politik.
Jika bergabung ke KIH tidak mungkin, maka menjadi partai penyeimbang pun rasanya tidak menguntungkan. Sudah tidak berkuasa, di parlemen pun tidak akan mendapatkan apa-apa. Hanya sebagai anggota biasa tentu menyulitkan bagi demokrat yang notabene 10 tahun berkuasa.
Jalan satu-satunya yang ditempuh demokrat adalah merapat ke perahu Prabowo. Dengan kekuatan 61 kursi tentu demokrat memperoleh insentif politik yang besar. Apalagi jalan kearah itu telah dirintis sejak lama, sejak Pemilu Presiden lalu. hasilnya pun cukup menggembirikan demokrat berhasil mengirimkan kadernya menjadi salah satu pimpinan DPR, posisi Wakil Ketua DPR berhasil diraih demokrat yang dijabat oleh Agus Hermanto.
Namun, untuk mengungkapkan ke publik lidah SBY terasa kelu, karena selama ini Presiden RI itu telah mengumbar ke media masa bahwa demokrat hanyalah partai penyeimbang “tidak kekakan dan tidak ke kiri.” Untuk menutupi ‘rasa malu’ dan agar jangan disebut sebagai plin-plan, menjilat ludah sendiri dan seterusnya perlu sebuah momentum.
Tidak perlu menunggu terlalu lama, momentum pun didapatkan yaitu melalu UU Pilkada yang telah diputuskan secara langsung. Lewat UU Pilkada inilah SBY memanfatkan momen dimana demokrat meningkatkan posisi tawar dan citra pun terselamatkan.
Sehingga, andaikan nanti pengamat mempertanyakan tentang komitmen Demokrat yang memposisikan diri sebagai partai penyeimbang, petinggi partai dengan mudah berkelit bahwa Demokrat bergabung ke KMP agar Pilkada Langsung tetap berlaku. Dengan itu, berbagai keuntungan diraih oleh demokrat : citra selamat, simpati publik dapat direbut dan posisi pimpinan DPR juga dapat diraih, sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, begitu kata pepatah.
Jadi, jika sebelumnya SBY menyebut bahwa dia siap dengan ‘resiko politik’ dengan menerbitkan Perppu tentang Pilkada sebenarnya bukan resiko politik tapi keuntungan politik yang cukup banyak. Untuk mendapatkan semua keuntungan tersebut Demokrat menempuh jalan berliku, penuh drama (Walk Out) dan melakukan beragam skenario dan ternyata berjalan sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H