Lihat ke Halaman Asli

Jansori Andesta

TERVERIFIKASI

aku anak ketiga dari pasangan hazairin dan sawati. dari tahun 2005 aku mulai menyukai puisi (baca n tulis puisi). dan saat ini menulis adalah pilihanku.

Rindu Buku Pada Pena

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14296158901604913806

sumber gambar: warnetplikwangon.wordpress.com

"Puisi lagi puisi lagi, lagi-lagi puisi. Apa tidak ada yang lain yang bisa kau goreskan pada lembar-lembar tubuh ini?"
Begitulah setiap hari, berhari-hari. Dari pagi sampai pagi lagi mengomel buku pada pena disampingnya bila om penyair sedang tidak ada di dekat mereka. tapi pena tak selalu diam, tak pernah mau mengomentarinya.
Ya, sudah beberapa hari ini si buku kerjanya mengoel saja, merasa tidak lagi betah dengan apa yang diterima. hingga suatu hari ia membentak pada si pena yang ada persis didekatnya.
"Hei, bicara!!! jangan cuma bisa diam saja!!!
"Hei, aku bicara padamu makhluk bertinta. Jawab, jawab kata-kataku. Jangan cuma bisa membuat coretan-coretan saja di tubuhku. Jawab, jawab kataku!!!
Perlahan, pelan-pelan nyaris hanya gumaman bicara juga akhirnya sang pena pada buku. "Aku tahu, aku tahu apa yang kau rasakan. Tapi percuma, tak kan ada yang berubah, akan tetap sama walau kau terus marah-marah. Harus kau tahu, bahwa aku...."
"Ah, persetan dengan kau pena. Masa bodoh dengan apa yang kau katakan. Yang aku tahu aku bosan" (potong si buku yang tak senang dengan jawaban yang keluar dari sang pena)
Lalu hening, karena om penyair yang mereka bicarakan kembali menghampiri mereka untuk menulis seperti biasa. Tapi, dalam hati si buku terus merutuk sejadi-jadinya. Berharap sang pena tidak ada lagi di dekatnya, pergi dan hilang entah kemana.
Lampu pun menyala, pertanda bahwa malam telah tiba. Ya, dari luar jendela sang alam telah menampilkan suasanya gelap pada warna. Semakin larut dan tibalah waktunya om penyair memejamkan matanya untuk melepas lelah.
Lampu yang sempat menyala pun padam. Tak ada yang berkata-kata, tak ada omelan buku tak ada gumam sang pena. Hingga pagi hari pun tiba, Om Penyair telah terjaga dan bersiap melanjutkan aktivitasnya menyambung tulisan yang sempat tertunda. Cuci muka, kembali ke meja.
Tapi, bingung sendiri. Terlihat Om Penyair seperti sedang mencari-cari. Ternyata, Sang Pena tak ada di tempatnya lagi, hanya ada buku yang tergeletak begitu saja di bawah meja ia dapati. Ya, sang pena telah hilang dan tak ada pengganti.
"Syukurlah, puas rasanya" Kata si buku bicara sendiri. Riang hatinya karena sang pena sudah tidak ada lagi.
Sepi, berkali-kali Sang Penyair mencari tapi sang pena tak juga ditemukan. Penyair tak bisa melanjutkan tulisannya lagi. Dia juga berniat untuk mengganti pena yang dia gunakan selama ini.
Sehari, Dua hari, Tiga hari, hingga seminggu lebih Sang Penyair tidak menulis lagi. Dari atas meja, si buku yang biasanya ngomel dan marah-marah setiap hari akhirnya hanya bisa terdiam, juga merasakan sepi. Tak ada yang menyentuhnya lagi. Menuangkan coretan-coretan pada lembaran-lembaran tubuhnya seperti biasa. Dia juga merindukan Pena
"Ah, mengapa begini. Mengapa aku jadi resah sendiri, rindu juga rasanya pada sang pena. Rindu pada coretan-coretannya di tubuh ini"
Minggu pagi. Seperti biasa, dua minggu sekali Sang Penyair membersihkan kamarnya. Mengipasi debu yang menempel di meja kerja, merapikan semua perkakas dan kertas bekas yang berserakan hampir memenuhi semua celah. Tak terkecuali di atas lemari pakaiannya.
Tiba-tiba, Sang Penyair terlihat senyum-senyum sendiri. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya bahagia sekali. Melangkah ke arah meja dan meletakkan sesuatu di atasnya. Sesuatu yang biasa dia pegang dan sempat hilang.
Diam-diam si buku juga merasa lega, tersenyum dengan apa yang dilihatnya. Lalu berbisik... "Akhirnya kau kembali juga. Maaf atas keegoanku, jujur aku kesepian dan merindukanmu"
Hening kembali, tak ada jawaban yang keluar dari pena. Hanya tersenyum pada buku, dia tahu dia juga sangat merindukan buku, rindu menuangkan goresan pada tubuh buku. Goresan yang hadir dari buah pikir dan perenungan penyair yang bagai air mengalir dari hulu bukit-bukit yang jauh.

HABIS

Bengkulu, 21 April 2015 (sebuah postingan ulang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline