Lihat ke Halaman Asli

Modern, katanya

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis dan melukis sepertinya memiliki satu persamaan: mencoba mengisi lembaran yang kosong. Dimensi yang sama (selembar kertas/kanvas putih) diupayakan untuk menjadi hasil yang dapat dinikmati. Baik itu dengan karya seni visual ataupun karya sastra yang menggugah. Kali ini aku bukan hendak mengisi tulisan layaknya pelukis memuas karyanya. Hanya seperti yang lainnya; menuang gagasan. Layaknya menuang satu shot espresso ke dalam cangkir berisi susu putih.

Dimulai dari sebuah film yang menginspirasiku untuk kembali menemukan sesuatu yang dulu aku senangi: menulis. Aku menyukai kegiatan ini karena dengan ini isi dalam kepala bisa tergambar, setidaknya tereprentasi, sebaik apa kualitas isi kepala kita. Ini dimulai dari mata kuliah Menulis yang kumulai pada masa kuliah yang dulu belum kurampungkan. Sensasi terbesar yang jelas terasa adalah ketika hasil akhir tulisanku mendapat apresiasi yang mencukupi – seperti senangnya adikku mendapat sepeda sebagai apresiasi Ibu atas kenaikan kelasnya.

Bila paru-paru kita adalah dua buah tabung stainless steel pastilah kita akan terus merawat kebersihannya tanpa perlu diingatkan. Dan jika itu nyata, tak ada salahnya juga merawat isi kepala kita. Ini bukan tentang bagaimana kita harus menjaga isi kepala agar tetap utuh. Tapi bagaimana pentingnya mengklasifikasi apa yang baik dan buruk dalam kepala. Tanpa sadar, zaman ini menawarkan beragam bentuk media yang kita nikmati setiap harinya. Tanpa harus sadar pula kenikmatan itu menggiring pola pikir kita sebagai manusia ‘modern’ yang diharapkan. Kita sering mendengar bahwa batas antara dewasa dan anak-anak adalah mengetahui apa yang baik dan buruk bagi dirinya. Namun sekarang ini baik dan buruk tidak lagi menjadi batas, tidak lagi penting. Lihatlah Ibu-ibu berpakaian minim yang berseliweran di pusat perbelanjaan. Batas baik dan buruk sudah menjadi samar dan tak lagi penting. Ibu yang berpakaian minim tadi ternyata sedang menggandeng tangan anak perempuannya yang juga dipakaikan baju minim. Aku tidak sedang menerangkan ini adalah contoh yang buruk. Tentu Ibu tersebut punya cukup alasan untuk menilai pilihannya tidaklah buruk, justru ‘keren,’ ‘modern.’  Media-media yang kita nikmati sehari-hari memberikan kita pemahaman, menawarkan yang modern adalah yang ‘keren.’ Pemahaman yang dapat menggring pola pikir konsumsi (baca: iklan). Pada awalnya memang hanya bertujuan menggerakkan pola pikir konsumsi, tapi lihatlah hari ini: iklan coklat atau eskrim yang dibintangi oleh model-model yang ‘keren.’ Akibatnya setiap keluarga memiliki pemahamannya sendiri tentang apa yang baik, yang ‘keren,’ dan yang lainnya. Aku jadi baru sadar tingginya mobilitas peradaban bangsa ini lewat besarnya aspek dunia periklanan. Ini satu contoh masyarakat kita.

Sebenarnya kali ini aku kembali tergugah untuk menulis karena ingin menceritakan sedikit sisi batinku yang sedang gelisah. Keluargaku. Meski hampir tujuh tahun aku menempuh SMP-SMA di boarding school, terpisah cukup jauh dan hanya pulang setahun dua kali, ikatan batinku dengan keluarga yang membesarkanku cukuplah erat, dan kini bahtera ini sedang oleng. Layaknya kapal feri yang kehabisan bahan bakar di tengah samudra. Baling-baling yang harus mendorongnya dari belakang hanya berputar perlahan sekali-dua kali.  Aku hanya dapat berdoa mudah-mudahan ini adalah sebuah badai hujan yang akan segera reda. Matahari selalu bersinar meski di balik awan tebal yang gelap, dan yang kita lihat hanyalah sayatan halilintar dan kencangnya hujan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline