Lihat ke Halaman Asli

Mendisain Format Pendidikan Antikorupsi di Sekolah

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Selalu aktualnya masalah pungutan atau kutipan sejumlah nominal yang diilakukan oleh pihak sekolah kepada orangtua atau wali murid baik yang bersifat resmi (ada SK Kepala Sekolah, biasanya berlabel persetujuan Komite Sekolah) maupun yang bersifat tidak resmi (tanpa dasar SK Kepala Sekolah) merupakan gambaran bahwa dunia pendidikan kita masih sangat lekat menganut dualisme persepsi terhadap "vrirus  menular dan jahat" bernama korupsi. Sebutlah contoh beberapa waktu yang lalu masyarakat kita santer menggunakan analogi plesetan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) menjadi Rintisan Sekolah Bertarif Internasional. Kegeraman masyarakat terhadap suburnya budaya pungutan di lingkungan dunia pendidikan tentu bukan tanpa  didukung oleh alasan atau bukti yang tidak kuat. Dalam kesempatan rileks di sebuah pertemuan RT, saya sering menyaksikan betapa masyarakat riuh mentertawakan keganjilan berbagai  "simbol" korupsi di sekolah seperti kuitansi pembayaran, draft RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah),  berkas laporan penggunaaan anggaran dan bukti fisik administratif lainnya.  Aktivitas informal penuh kegeraman semacam itu merupakan  kompensasi dari "keterpasungan" mereka saat  berada dalam ruang ruang formal diskusi anggaran di sekolah. Sudah bukan menjadi rahasia umum, dalam kultur masyarakat Indonesia terutama (katakanlah di Jawa) , orang tua atau wali murid lebih memilih diam seribu basa saat Kepala Sekolah  dan Komite Sekolah berbicara cas cis cus perihal misalnya pentingnya dan hebatnya pendidikan  sehingga semua pihak (stakeholders) hendaknya memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu pendidikan atau katakanlah saat bicara soal betapa pendidikan  bagi pembentukan kepribadian, karrakter, dan akhlak mulia generasi penerus. (bagi generasi tua kurang penting barangkali).  Mendengar "kamulflase " yang nyinyir seperti itu orang tuapun lebih memilih berbicara sendiri dengan  peserta rapat yang ada sebelah kanan kirinya. Pola interaksi dan komunikasi antara masyarakat (orang tua siswa) dengan pihak sekolah dalam forum formal semacam itu benar benar mirip dengan dialog antara manusia bumi dengan manusia angkasa luar, alien.

Pola korupsi di dunia pendidikan kita yang berbaju sistematik-formal seperti  itu dan memang telah banyak disampaikan oleh beberapa pemerhati pendidikan di media merupakan bentuk kejahatan "kerah putih" yang sungguh sungguh bergerak secara  "biologis", menjalar, menggerogoti, dan akhirnya memberangus nilai nilai asasi filosofi pendidikan kita yang dulu dengan susah payah ditanamkan oleh para pendahulu kita seperti Ki Hadjar Dewantoro, Ki Ronngowarsito, KH Achmad Dahlan, KH Wachid Hasyim, dan para sesepuh bangsa lainnya.

Terkait pelaku korupsi di sekolah, ada satu hal yang menyesakkan dada ketika kita juga mendengar bahwa oknum gurupun ternyata ikut terjebak dalam pola  korupsi di sekolah meski dari segi bentuk sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kepala Sekolah. Saat usai kenaikan kelas, misalnya kita sering merasa prihatin ketika mendengar berita bahwa si guru ini si guru itu dengan bahasa  isyarat  meminta hadiah kepada orang tua siswa yang konon bisa naik kelas berkat "jasa" tangan dinginnya. Subhanallah. Sebagai pelaku teknis penanaman nilai nilai filsafat pendidikan yang langsung berinteraksi dengan siswa , perilaku meminta "hadiah" kepada orang tua siswa semacam itu tentu sangat mengangkangi komitmen dan etika profesi yang mestinya dijunjungtinggi dan menjadi panglima mereka dalam bersikap dan berperilaku  di hadapan publik. Jadi, dalam konteks korupsi di sekolah,  kiranya tidak fair jika oknum Kepala Sekolah dan Komite Sekolah selalu diposisikan sebagai aktor utama budaya korupsi di  sekolah .

Menyikapi kondisi yang sudah sangat menggurita semacam itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  tentu harus semakin intensif membangun pola pendidikan anti korupsi yang bukan saja mampu mengurangi intensitas tindakan korupsi di sekolah tetapi hendaknya mampu pula menginternalisasikan nilai nilai anti korupsi seperti kejujuran, kebersihan, tanggungjawab, kepercayaan, dan semacamnya kepada para siswa selaku generasi pengganti. Maaf, saya tidak suka menyebut siswa sebagai generasi penerus karena makna "penerus" berbeda signifikan dengan makna "pengganti" ketika fenomena akhlak generasi tua kita saat ini begitu memilukan hati.  Kemdikbud kedepan harus lebih berkomitmen untuk membangun iklim dan mekanisme pendidikan yang benar benar steril dari segala bentuk tipikor. Melakukan koordinasi dengan KPK  dalam upaya mendisain format Pendidikan Anti Korupsi  sunguguh perlu semakin dibentukkan secara riil dan operasional. Salah satu misi Pendidikan anti korupsi misalnya ialah mampu membuat kepala sekolah, guru, dan siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi termasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Masyarakat tentu harus ikut mengawasi sekolah, sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi di sekolah dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor sekolah. Gerakan bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan dukungan moral bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya.

Tidak hanya itu, pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan secara sistemik di semua tingkat institusi pendidikan, diharapkan akan memperbaiki pola pikir bangsa tentang korupsi.. Selamat bekerja  Kemendikbud dan KPK demi bangsa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline