Lihat ke Halaman Asli

Kharisma di Tubuh NU

Diperbarui: 6 Agustus 2015   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pidato Gus Mus yang fenomenal dan mampu meredam konflik di antara muktamirin, ternyata tak semua merespon positif, setidaknya aku mendengar langsung ucapan ini dari seseorang yang aku kenal dekat, "Bahasa politiknya; beliau pintar curi start, kampanye menarik simpatik, Gus Mus berpolitik untuk leading satu point dari rivalnya di Syuriah."

Aku bergegas meninggalkan alun-alun, melintasi pesantren tebuireng, melewati Cukir lalu menuju keheningan Desa Belimbing, aku mau melanjutkan tulisan yang tertunda tadi karena keharuan yang memenuhi ruang hati; NU antara kharisma ruhiyah dan kharisma ilmiyah.

Kini, aku menjadi mengerti dengan jelas, kharisma itu bukan diciptakan, ia memang boleh jadi hasil dari tempaan laku batin yang istiqomah lalu Tuhan menghadiahi kewibawaan ruhiyah yang melintasi rata-rata. Faktanya, kekhawatiran "politisasi" ala Gus Mus tak terjadi. Beliau dengan ketawadhu'annya tetap menolak jabatan Rois 'Am meskipun 9 Kyai Kharismatik di jajaran Ahlil Halli wal 'Aqdi telah menetapkan beliau.

Mbah Yayi Mustofa Bisri meyakinkan kita bahwa pidatonya yang menyatakan, "Rais 'Aam yang membikin saya menjadi punya posisi seperti ini, KH Sahal Mahfud, mengapa beliau wafat sehingga saya memikul beban ini, saya pinjam telinga anda, doakan saya, ini terakhir saya menjabat jabatan yang tidak pantas bagi saya. Dengarkanlah saya sebagai pemimpin tertinggi anda. Mohon dengarkan saya, dengan hormat kalau perlu saya mencium kaki-kaki anda semua agar mengikuti akhlakuk karimah, Akhlak KH Haysim Asy'ari dan pendahulu kita. Saya panggil kiai sepuh, rata-rata mereka prihatin semua, prihatin yang sangat mendalam. Di tanah ini terbujur kiai-kiai kita, di sini NU didirikan apa kita mau meruntuhkan di sini juga, Naudzubillah, saya mohon dengan kerendahan hati Anda melepasksan semuanya, dan memikirkan Allah dan pendiri kita."

Ini sungguh-sungguh kharisma ruhiyah yang tidak dibuat-buat, bukan prilaku lebay yang sedang mengemis sehingga mendapat perhatian dan simpati muktamirin. Ia menegaskan semua itu demi keutuhan Nahdhatul 'Ulama. Faktanya, keretakan di Perahu Besar NU itu segera tertambal oleh pidato yang hanya beberapa menit itu.

Kini, jabatan paling prestisius di struktural NU itu telah dialihkan kepada KH. Ma'ruf Amin, posisi sebelumnya sebagai wakil ketua umum dengan segera menghantarkan beliau mencapai puncak setelah Gus Mus memastikan pengunduran dirinya. Posisi ini juga bukan kehendak pribadi KH. Ma'ruf Amin, ini amanat ahlil halli wal aqdi yang telah diberi mandat oleh muktamirin. Beliau sesungguhnya sedang menjalani peran seperti Gus Mus dulu saat NU ditinggal wafat Mbah Yayi Sahal Mahfudz.

Sore hari setelah pidato Gus Mus, aku berkesempatan mendengar langsung pidato Kyai Ma'ruf Amin di arena Bahtsul Masail Maudhu'iyyah di Pesantren Tambak Beras persis di saat pertikaian pendapat belum jua reda mengenai metodologi penetapan hukum manhaj nahdhiyyah.

Suasana di arena Bahtsul Masâil Maudhû'iyyah ini juga tak kalah seru. Setelah Kyai Afifuddin Muhajir menyampaikan Draft kajian yang akan dibahas, sidang yang dipandu oleh moderator Kyai Moqsith Ghazali itu segera menampilkan kericuhan "khas NU", entah apa jadinya bila wartawan media online arrahmah dot com atau pkspuyengan meliput bagian ini, mungkin akan beredar berita mengenaskan, "Kericuhan tak hanya di Arena Muktamar, NU juga pecah kongsi di Bahtsul Masâil."

Duduk perkara dalam sidang bahtsul masâil itu ditekankan pada amanat Munas Alim Ulama Lampung 1992 yang menghendaki ditentukannya metodologi penetapan hukum bagi kalangan NU terutama pada kasus-kasus yang sama sekali belum ditemukan landasan hukum atau bahkan sekedar 'ibarat (ungkapan) dalam nash atau referensi kitab yang mu'tabar.

KH. Afifuddin Muhajir dalam draft bahtsul masâil menguraikan dengan gamblang dan jelas keharusan NU memutuskan proses Istinbâth al-ahkâm lewat tiga metode; bayâni, qiyâshi, maqâshidi. Beliau juga mensyaratkan proses istinbâth ini harus memenuhi lima syarat;

1. Mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud
2. Memperhatikan kaedah-kaedah bahasa
3. Mengaitkan satu nash dengan nash yang lain karena nash itu satu ketersatuan yang tidak dapat dipisahkan
4. Mengaitkan nash yg dibahas dengan maqashid asy-syari'ah (hasil istiqra atau penelitian induktif para ulama terdahulu atas nash-nash syariat) agar nash bisa difahami secara kontekstual tidak hanya tekstual.
5. Melakukan takwil ketika diperlukan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline