Lihat ke Halaman Asli

Antara Zinah dan Nikah Siri

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sekitar 2 tahun lalu, saya menulis sebuah cerita pendek yang saya beri judul “ Kisah Para Perampas Hidup “. Cerpen itu saya muat di salah satu situs jejaring sosial yang akunnya saya miliki. Sayangnya akun itu sudah saya tutup permanen setengah tahun lalu, karena terlalu sering muncul fitnah dan terror yang kemudian berakibat tak enak bagi rumah tangga saya.

Kembali ke cerpen yang saya tulis dahulu itu, berulang-ulang beberapa kawan menyarankan saya agar mau menulis cerita-cerita pendek tentang hidup dan kehidupan. Berulang juga saya menjadi tak percaya diri untuk memulai menulisnya. Baru pada media 2010, saya beranikan diri untuk menulis cerita pendek pertama saya.

Judulnya memang tak mengisyaratkan apapun. Sama sekali tak menukik ke isi cerita nya. Tapi tak ayal, ketika tulisan itu saya muat, begitu banyak kawan yang member respon. Dari memuji, mengkritik sampai ada yang mengirimkan pesan personal karena merasa dirinya seperti tokoh dalam cerita itu.

Apa yang saya ceritakan dalam cerpen itu sebenarnya adalah kisah-kisah klasik, kuno bahkan karatan. Betapa tidak, dalam cerpen itu saya mengisahkan kasih asmara antara seorang laki-laki yang menjalani hidup sebagai pembunuh karena harga diri yang harus ia pertahankan, dengan seorang perempuan yang sejak remaja telah melacurkan dirinya karena dimanfaatkan oleh ibunya. Si lelaki yang awalnya ingin bersembunyi di rumah kost si perempuan malah mengalami ‘ketakutan’ yang belum pernah ia hinggapi sebelumnya. Ia membunuh dan merampas hidup orang lain karena harga diri, tapi ternyata ditempat ia ingin sembunyi, ia malah menemukan seorang ibu yang tega merampas harga diri anaknya hanya untuk kesenangan pribadinya. Ia menjadi dingin dan luar biasa takut.

Cerita tadi mungkin bukan hal baru. Di jaman yang semakin kusut dan tak jelas ini, kadang kekotoran dianggap sebagai kesucian. Berapa banyak perempuan yang lalu hinggap menjadi wanita penjaja tubuh, hanya karena alasan nafkah? Berapa banyak perempuan yang dengan alasan banting tulang bagi anak-anaknya lalu menjajakan kehormatannya? Sudah terlalu banyak.

Kita mulai tersesat.

Dalam sebuah diskusi saya dengan seorang ustadz dekat kantor dimana sehari-hari saya bekerja, saya menggugat pernyataannya bahwa menikah siri adalah halal. Bagi saya tetaplah haram. Argumentasi saya tetap pada arti harfiah siri (sir’i) yang bermakna ‘sembunyi’. Dalam Islam, menikah itu punya setidaknya empat tujuan utama yang mulia, yaitu : memperpanjang garis keturunan, memperpanjang tali silaturahim, membuka pintu-pintu rejeki dan terakhir, membuka pintu berkah. Tujuan terakhir untuk membuka pintu berkah tak akan hadir apabila salah satu tujuan dari ketiga tujuan lainnya tidak ada. Tak punya keturunan, sembunyi-sembunyi, atau tak mampu menafkahi keluarga pasti akan memberikan mudharat bagi rumah tangga, bukan berkah. Lalu dimana konteks halalnya kalau menikah sembunyi (sir’i) dilakukan? Saya tergelak ketika si ustadz berkata, menikah sir’i lebih baik daripada zinah. Luar biasa sesatnya ustadz itu saya pikir, karena bagaimana mungkin kemuliaan sebuah pernikahan disandarkan hanya karena alasan agar tidak berzinah. Islam memuliakan perempuan, pernikahan dan rumah tangga dalam Islampun memuliakan perempuan. Nikah sir’i jelas merugikan perempuan secara hukum. Maka jelaslah itu bukan ajaran Islam, begitu pikir saya yang awam ini.

Lalu apa hubungannya dua persoalan diatas, melacur atas nama kebutuhan ekonomi dan menikah sir’i tadi? Nah, sudah menjadi rahasia umum, menikah sir’i dijadikan alat untuk melegalkan zinah. Seorang wanita yang menjaja tubuhnya lalu dinikah secara sir’i oleh laki-laki ‘pelanggannya’ untuk jaminan keuangannya. Macam apa agama ini sudah diputar-putar semaunya.

Saya orang yang percaya, bahwa hukum Tuhan itu sangat mudah dan meringankan. Hukum manusia yang lalu mengangkanginya sesuka hati. Hukum Tuhan yang seharusnya mulia, termasuk dalam konteks pernikahan, lalu diobok-obok hukum manusia yang justru malah menghina dina manusia itu sendiri. Bagi saya, kedua hal diatas tetaplah penyimpangan. Sebagai orang tua, kita harus tahu darimana anak perempuan kita tiba-tiba punya uang banyak, jangan malah ikut asyik masyuk menikmatinya. Kita harus bisa secara mutlak dan absolute mebedakan mana rejeki dan mana uang.

Dalam etika moral Islam yang Indonesia, jelaslah bahwa kebebasan manusia tidak serta merta mutlak. Kebebasan kita terpagar oleh aturan-aturan. Tanpa paham aturan, maka yakinlah kita akan membawa anak keturunan kita pada kesesatan abadi.

Hujan dipenghujung tahun 2012

Ditulis di Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline