Lihat ke Halaman Asli

Kerusuhan dan Konflik Horizontal Sebagai Bagian dari Kegagalan Membumikan Ideologi (Memperingati Hari Lahir Pancasila Ke 66)

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ideologi, adalah kata yang terdengar sangat dramatik, heroik dan bahkan untuk beberapa orang terkesan romantik. Darinya banyak bangsa lalu seperti memiliki ruh untuk berjuang bagi kebebasan dan kemerdekaannya. Ideologi bahkan seperti stempel bagi berbagai praktik dan tingkah polah politik berjuta manusia.

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia juga tak luput dari pengaruh ideologinya sendiri yang begitu digdaya. Betapa Pancasila, yang oleh Bung Karno dirumuskan begitu sangat dramatik dan disampaikan secara lengkap dan heroik pada 1 Juni 1945, kemudian diamini bersama-sama sebagai  ideologi  bangsa dan yang sangat luar biasa, seluruh rakyat  berkhidmat  kepadanya. Pasang surut Pancasila sebagai sebuah ideologi  yang oleh Bung Karno sebagai ‘pencipta’nya kemudian diperas-peras, disimpul-simpulkan menjadi Tri-Sila lalu menjadi Eka-Sila dan bahkan dalam perjalanan kepemimpinannya Bung Karno menggelorakan pula Marhaenisme yang beliau klaim sebagai “jalan tengah terbaik bagi Indonesia” ditengah konflik filsafati kapitalisme dan sosialisme-komunisme.

Hal yang sama juga dilakukan Suharto di era kepemimpinannya. Bahkan “kudeta merangkak” yang dilakukannya terhadap Bung Karno sepanjang 1966-1968 dan berujung kepada pelucutan kekuasaan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS juga disebutnya sebagai bagian dari upaya ‘penyelamatan Pancasila’. Sepanjang kekuasaanya, Suharto menganalogikan dirinya sebagai Pancasila itu sendiri. Perlawanan terhadap diri Suharto lalu serta merta dianggap sebagai perlawanan kepada Pancasila, berbahaya bagi Negara dan kemudian diberi label subversif. Suharto bahkan sempat melakukan ‘breakdown’ terhadap Pancasila dalam butir-butir sila yang kemudian ditahbiskan sebagai P4, yang lalu secara patuh dijadikan sebagai salah satu kursus kesetiaan kepada Pancasila bagi seluruh lapisan masyarakat bangsa.

Ketika Suharto dilengserkan, lawan-lawan politiknya yang menamakan dirinya sebagai kaum reformis juga melakukan gerakan massa atas nama penegakkan kembali Pancasila yang mereka yakini diselewengkan Suharto selama 32 tahun kekuasaannya. Lalu setelah itu, berturut-turut sejak Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono juga turun naik atas nama Pancasila. Begitu saktinya Pancasila ini, sehingga mempertahankan dan merebut kekuasaan harus membawa kata ini.

Pertanyaan besar kemudian muncul, apakah ideologi kemudian tercipta untuk sekedar mengiringi kekuasaan? Ataukah ideologi dihadirkan untuk kemaslahatan ummat? Dalam berbagai kursus kader organisasi-organisasi massa atau partai politik, sering dimunculkan pembahasan Pancasila sebagai bagian dari materi yang dijadwalkan untuk dibahas. Pancasila lalu meluncur deras dari meja-meja seminar dan diskusi, dari pelatihan hingga pengkaderan. Bahkan ada partai yang mewajibkan pemahaman terhadap Pancasila sebagai perwujudan dari ‘mantap ideologi’.  Tetapi kemudian terjadi sesuatu yang tidak sinkron diantara pembelajaran dan pembahasan Pancasila tersebut dengan sikap laku masyarakat bangsa. Seperti ada garis yang terputus diantara keduanya, sehingga lalu Pancasila dianggap sebagai ideologi gagal oleh sebagian pihak yang memang sangat bernafsu menggantikannya dengan paham lainnya.

Persoalan yang sejak beberapa tahun reformasi kerap terjadi adalah munculnya kerusuhan dan konflik horizontal dihampir seluruh tempat di Indonesia. Mulai dari faktor perbedaan agama, keyakinan, pandangan politik, pilihan politik, calon pemimpin, hingga masalah remeh temeh seperti perkara mata yang sengaja atau tidak beradu-pandang. Dimana perekat Pancasila akhirnya memang menjadi relevan kita pertanyakan saat ini, mengingat cita-cita dan dogmamya seakan jauh panggang dari api terhadap perilaku keseharian kita. Dimanakah missing-link dari Pancasila sebagai dogma dan Pancasila sebagai acuan sikap tindak?

Politik kekuasaan kemudian layak kita jadikan sebagai variabel pertama pemutus sinkronisasi Pancasila tersebut. Kemudian kita bisa menyimpulkan beberapa variabel lain sebagai faktor yang dapat kita anggap sebagai pemutus garis merah antara Pancasila sebagai sebuah ide dan dogma terhadap Pancasila sebagai sebuah sikap laku. Hal tersebut adalah adanya gerakan lanjutan separatisme yang menemukan ruangnya di era reformasi dimana Negara diperlemah dalam mengambil sikap tegas kepada setiap gerakan separatisme atas nama HAM. Kemudian, muncul faktor sikap laku yang sudah pada tahap individualis akut, dimana sikap egosentris semakin mengemuka dan sikap toleran tereduksi. Sama dengan politik kekuasaan yang cenderung merusak karena senantiasa meniscayakan manajemen konflik dalam praktik merebut kuasa, maka krisis eksistensi juga lalu hadir dalam faktor penyebab lainnya, suatu hal yang terkadang justru memperlihatkan ketidakpercaya diri-an serta ketidak berdayaan kita menguasai diri sendiri sehingga tak tahu dimana berpijak, maka perlu mengokohkan diri sebagai pihak atau kelompok yang harus dihormati eksistensinya tanpa reserve. Faktor atau variabel lain adalah adanya kerja-kerja intelijen, yang karena satu dan lain hal perlu melakukan sebuah ‘test of condition’. Lalu muncul faktor lemahnya fungsi-fungsi lembaga pengamanan seperto kepolisian negara, yang bahkan kemudian dibanyak tempat dijadikan musuh bersama sekelompok masyarakat.

Tetapi yang paling krusial mungkin adalah faktor Pancasila itu sendiri. Perkara besar hampir semua ideologi di dunia sehingga tidak dapat membumi adalah karena bahwa dalam tahap perumusannya tidak kunjung mendapatkan break-down aplikator-nya. Semua orang termasuk pencipta ideologi kemudian asyik-masyuk dengan gegap gempita efek ideologi sehingga melupakan tugas utama si ideologi itu sendiri yang penuh sesak dengan cita-cita ideal. Missing-link nya justru terletak disana, sang pencipta Pancasila terlupakan perihal mau jadi apa individu-individu ini setelah dia perkenalkan dengan Pancasila. Selanjutnya, secara berjamaah dan berkesinambungan para pemimpin selanjutnya ikut serta mengabaikannya bahkan malah memanipulasinya. Hari ini, bicara Pancasila menjadi sepi senyap. Tapi tahu dan sadarkah kita bahwa ketika dikampung disebelah kita tawuran dan rusuh, maka itu karena kita melupakan ide dan cita-cita awal berkhidmatnya kita sebagai bangsa. Salam.

Irwan Suhanto, pemerhati sosial

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline