Lihat ke Halaman Asli

Jika Saya Seorang Anies Baswedan...

Diperbarui: 7 Oktober 2016   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aniesbaswedan.com

Sekitar tiga tahun lalu, dalam sebuah perjalanan ke Papua Barat, seorang dosen Universitas Negeri Malang (UM) ngerasani (menggunjing) Anies Baswedan. Dia beranggapan kalau program Indonesia Mengajar hanya dijadikan ajang pecitraan Anies.

Dia lalu menggerutu kalau program yang dia ikut urus yakni Program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) kalah pamor dengan Indonesia mengajar. Padahal, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) sudah mengucurkan ratusan miliar untuk mengirim sarjana ke tapal batas untuk program SM3T.

Tapi tetap saja, yang lebih dikenal Indonesia Mengajar-nya Anies Baswedan. Sedangkan SM3T tidak banyak orang yang tahu. Saya yang ketika itu liputan, baru tahu program SM3T ketika dosen ini menjelaskan di perjalanan. Lalu, percakapan tentang Anies Baswedan hilang begitu saja. Setelah itu kita fokus pada medan curam, jalan bergerojal dan hutan yang lebat untuk sampai ke Papua Barat, tempat peserta SM3T mengajar.

Anies Baswedan beberapa tahun belakangan memang menjadi akademisi yang amat terkenal. Mula-mula dia menjadi rektor termuda pada usia 38 tahun di Universitas Paramadina. Kampus yang tidak lebih besar dari Universitas Islam Malang (Unisma) ini terkenal saya kira selain pengaruh Nurcholish Madjid sebagai pendiri, juga karena Anies.

Lalu dia mendirikan Indonesia Mengajar. Sebuah program mulia yang disokong banyak perusahaan besar. Nama Anies kian melambung hingga dia menjadi peserta konvensi calon Presiden Partai Demokrat. Saya kira, dia satu-satunya peserta konvensi dari unsur dosen. 

Kau tahu, amat sulit dosen yang jumlahnya ratusan ribu se-Indonesia untuk bisa eksis di dunia perpolitikan, bukan? Selain jarang dosen yang terkenal, butuh beratus-ratus tahun dosen mengumpulkan uang dari gaji mereka untuk bisa ‘membeli’ kendaraan politik. Tapi Anies mendobrak ketidakmungkinan itu meski akhirnya dia gagal di konvensi.

Setelah beberapa bulan lalu Anies diberhentikan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), lantas orang bertanya-tanya, kemanakah karir orang yang sedari muda karier-nya menjulang ini? Dari media, saya baca Anies masih belum kembali ke kampus untuk menjadi dosen.

Saya kira masa ketika Anies diberhentikan dari menteri adalah masa yang sulit baginya. Nama Anies sudah terlanjur terkenal, cita-citanya sudah terlanjur tinggi, dan sejak muda kariernya bagus. Maka ketika hanya kembali ke kampus menjadi dosen mungkin banyak orang yang akan bertanya-tanya. Anies sendiri saya kira juga akan heran terhadap dirinya sendiri, kok bisa kariernya seperti roller coaster: habis menukik lalu menghujam kebawah.

Di tengah kegalauan inilah, Anies lantas menerima tawaran menjadi calon Gubenur DKI Jakarta. Anies menolak menjadi Wakil Gubenur mendampingi Sandiaga Uno. Saya menebak alasannya sama kenapa dia menolak menjadi wakil, yakni karena namanya sudah terlanjur terkenal dan cita-cita sudah amat tinggi.

Pada Pilkada DKI inilah setidaknya kita bisa bercermin kalau politik ternyata menjadi muara dari aneka macam profesi. Anies yang berangkat dari akademisi, pada muaranya menjadi politisi. Dia sempat menjadi bakal calon presiden, dan menjadi calon gubenur.

Karena memilih jalan politik, maka Anies harus berdamai dengan rival-rival politiknya di Pilpres 2014. Kita tahu, pada Pilpres lalu Anies menjadi juru bicara Jokowi dan Jusuf Kalla, dan kini Anies bergabung dengan Prabowo yang waktu itu menjadi lawan Jokowi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline