Lihat ke Halaman Asli

Berguru Menulis Kepada Dahlan Iskan, Goenawan Mohamad, dan Seno Gumira Ajidarma

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14228865042109339923

Menulis adalah soal memberi makan konsistensi. Begitulah saran seorang teman ketika aktivitas menulis saya mulai mengendur suatu ketika. Saya setuju dengan ungkapannya, menulis memang seperti orang makan. Bagi penulis, seharusnya jika lama tidak menulis akan mengalami siksaan yang begitu berat seperti orang yang berhari-hari tidak makan. Siksaan itu bisa berupa kelaparan, menjadi kurus, atau hingga merana.

Ungkapan teman saya yang sudah lama saya lupakan itu kembali terngiang ketika pekan lalu saya membaca tulisan Dahlan Iskan di Jawa Pos. Kali ini Dahlan menulis dalam rubrik New Hope, tulisan ini merupakan yang pertama setelah dua bulan lamanya Dahlan berpuasa menulis di rubrik Manufacturing Hope yang terbit setiap hari Senin.

Dalam tulisan pertamanya itu, Dahlan memang seperti orang yang kelaparan. Dia merana karena harus berpuasa menulis selama dua bulan. Bagi dia yang sudah 30 tahun lamanya menulis (baik ketika menjadi wartawan atau penulis), menahan untuk tidak menulis merupakan siksaan. Apalagi, jika ada bahan menarik yang perlu dituliskan.

Dari apa yang dialami Dahlan itu, kita layak bercermin. Apapun aktivitas dan pekerjaan kita, bagi seorang penulis, menulis merupakan sebuah keharusan. Ketika menjadi menteri, Dahlan banyak mengisahkan tentang apapun aktivitas serta gebrakannya selama menjadi menteri. Dari tulisan-tulisannya, banyak yang terinspirasi terutama ketika membaca bagaimana cara Dahlan menghidupkan BUMN yang lama mati suri.

Begitulah seharusnya kesungguhan bagi seorang penulis. Sebab menulis itu seperti orang makan, tidak mudah menyerah mencari makanan, itu merupakan kunci utamanya. Jika kita bermalas-malasan untuk mencari uang, bisa jadi kita tidak mempunyai uang untuk membeli makan. Apakah tidak merana jika hal itu yang terjadi.

Oleh karenanya, saya setuju jika menulis dianalogikan dengan orang makan beserta prosesnya. Jika kita ingin membuat makanan enak, kita harus mempunyai cukup uang, berbelanja lauk-pauk terbaik, tidak hemat rempah-rempah, dan memasak dengan tidak ala kadarnya.

Begitu juga dengan menulis, tulisan kita akan kering jika kita tidak mempunyai bahan yang cukup. Bahan-bahan itu bisa dari bacaan, pengalaman, cerita orang, dan lain-lain. Karena inilah ada rumus yakni jika negara yang memikirkan soal perbukuan sama pentingnya dengan ketersediaan makanan, orang-orang di negara tersebut akan menghasilkan karya-karya hebat.

Jika perpustakaan merata disetiap sudut desa, perpustakaan kota anggarannya tidak lagi cekak, dan buku-buku bagus bisa kita akses dengan mudah, maka tidak akan kesulitan mencari karya-karya bagus dari penulis kita. Hal yang saat ini memang sedikit sulit kita temukan ditengah banyaknya karya yang kualitasnya pas-pasan.

Nah, mungkin karena berjibunnya bahan inilah, Dahlan bisa menghasilkan tulisan Manufacturing Hope hingga ratusan tulisan. Lantas kenapa tulisannya selalu dinanti orang setiap Senin pagi..? Itu karena Dahlan mempunyai bahan-bahan terbaik dan berhasil menuliskannya dengan baik pula.

Bagaimana dengan tulisan-tulisan New Hope kedepannya, sebagai pembaca, saya hanya bisa membayangkan kalau tulisan-tulisan ini berisi tentang merawat harapan, tentu dengan bahan-bahan yang tidak jauh dari itu.

Ditengah berita-berita tentang keculasan pejabat di negeri ini, kita membutuhkan tulisan yang menggugah semangat. Berita soal konflik Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), konflik Partai saat kongres, berita calon kapolri yang korupsi, kepala daerah yang tertangkap tangan menerima suap, dan lain-lain, mau tidak mau membuat kita jengah.

Kerapkali kita dibuat bosan dan putus asa. Bagaimana bisa, pucuk pimpinan penegak hukum akan dijabat orang yang berstatus tersangka. Akal sehat seolah tidak bisa menerima, meskipun toh itu hak prerogratif presiden. Kita juga sudah jengah dengan aneka macam muslihat pejabat mencuci uangnya. Dari keculasan yang monoton itu, kita membutuhkan tulisan yang menghibur, menginspirasi, dan menghidupkan harapan.

Sebenarnya, banyak penulis di negeri ini yang bisa kita dijadikan cermin soal nalar mereka yang menganggap menulis seperti orang makan. Selain Dahlan, Kita tahu, pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad menulis catatan pinggir sejak tahun Sejak 1976 setiap pekan tanpa jeda, kecuali saat Majalah ini diberedel oleh Orde Baru beberapa tahun.

Kenapa Goenawan tidak pernah kehabisan bahan, saya beranggapan karena bahan bacaanya yang luas. Goenawan membahas tentang siapapun dari buku-buku yang pernah dia baca. Saat mengenang kematian Nelson Mandela, pada Tweet-nya di Twitter, Goenawan mengatakan kalau dirinya harus riset soal Mandela. Mungkin, dirinya memakai kata riset karena dia beranggapan kalau menulis bukanlah hal yang main-main meskipun baginya menulis hal yang menyenangkan.

Ada satu orang lagi yang menurut saya tidak pernah main-main dalam menekuni hobinya dalam menulis. Dia adalah Seno Gumira Ajidarma, seorang sastrawan yang lebih suka disebut wartawan karena sebutan sastrawan adalah sebutan yang berat.

Beberapa pekan yang lalu, saya membeli kumpulan cerpennya yang pernah dimuat di harian Kompas. Judulnya Senja dan Cinta yang Berdarah. Yang membuat saya geleng-geleng, Seno sudah menulis di Kompas sejak 1978 atau ketika umurnya baru 20 tahun, dan kegiatan itu terus berlangsung sampai 2013.

Setelah membaca beberapa cerpennya, tulisan Seno memang magis meskipun disejumlah artikel tulisannya menurut saya sulit dimengerti. Karena merasa penasaran dan ingin berguru pada Seno, saya iseng-iseng berkirim email melalui Pana Journal, sebuah media online yang dia dirikan.

Ah, ternyata, iseng-iseng saya itu membuahkan hasil. Meski tak sedikitpun mengajari teknik tulis menulis, Seno menyemangati saya untuk terus menulis. Begini isi balasan emailnya: Halo Mas Irham, Salam sudah kami sampaikan ke Mas Seno. Katanya: "Salam kembali. Yang penting dalam berlatih menulis adalah, terus banyak baca karya bagus dan tulis terus sampai mampus."


sumber foto: www.sukatulis.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline