Seorang historikus dan jurnalis BelandaTineke Bennema ingin menulis kembali sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Di buku sejarah Belanda yang ada sekarang sedikit sekali ditulis tentang zaman penjajahan di Hindia Belanda, nama Indonesia di zaman Belanda. Kalau ada, itu pun hanya yang baik-baiknya saja misalnya tentang Douwes Dekker (Multituli), yang membela pribumi. Demikian tandas Tineke Bennema di radio Belanda NPO 1.
Jebolan Universitas van Amsterdam ini dapat dikatakan seorang keturunan penjajah. Kakeknya dulu pernah menjadi inspektur polisi di Jawa, di zaman Indonesia masih disebut Hindia Belanda. Ayahnya menjadi korban kamp internir Jepang. Mungkin karena banyak mendengar cerita dari ayahnya tentang pengalaman di Hindia Belanda itulah justru dia tertarik belajar sejarah.
Bersama aktivis Komite Utang Kehormatan Belanda Jeffry Pondaag, ilmuwan Belanda yang pernah tinggal di Palestina ini menulis sebuah artikel di koran NRC. Di artikel itu mereka pertama-tama mempermasalahkan istilah Politionele Aktie atau aksi polisional yang digunakan pemerintah Belanda bagi operasi militer ke Indonesia antara tahun 1945 sampai 1949. Mereka berpendapat istilah Politionele Aktie tidak tepat. Tentara Belanda itu tugasnya justru untuk merebut kembali daerah jajahannya sehingga terjadi perang yang banyak menelan korban terutama di pihak Indonesia.
Menurut Bennema dan Pondaag kini tiba saatnya generasi muda Belanda harus mengetahui halaman kelam dalam sejarahnya. Dalam buku sejarah Belanda hampir tidak ditemukan tulisan mengenai kekejaman dan kejahatan kolonialisme berupa penindasan penduduk, pemerasan ekonomi dan pembunuhan dalam banyak peperangan yang pernah terjadi.
Di buku sejarah untuk sekolah menengah atas di Belanda hanya tertulis bahwa sejak 1901 perlindungan dan pencerdasan penduduk pribumi sudah menjadi tujuan resmi politik kolonial. Tapi tindakan kejam Belanda menumpas berbagai pemberontakan tidak disebut sama sekali.
Buku pelajaran sejarah Belanda tidak menyebut sama sekali bahwa mayoritas orang Indonesia di awal PD II buta huruf. Dan mengenai dekolonisasi disebutkan, Belanda dulu terpaksa melepas daerah penjajahannya, karena daerah jajahan itu sudah tidak menguntungkan lagi. Jadi bukan karena penduduk negara terjajah menuntut kemerdekaan. Tentang Soekarno dan Hatta buku sejarah Belanda menulis bahwa mereka adalah pemberontak yang bekerjasama dengan Jepang.
Tineke Bennerma dan Jeffry Pondaag menyimpulkan bahwa penulisan sejarah Belanda di Indonesia bukan berdasarkan kebenaran, malah memberi gambaran yang salah. Mereka menilai Belanda tidak mau mengakui kesalahannya. Ini semua harus dikoreksi, tulis Bennema dan Pondaag di artikel di koran NRC tersebut. Masa lalu yang tidak diungkapkan dengan benar, bisa merusak gambaran masa sekarang.
Mereka berpendapat pula, Belanda harus berani secara terbuka mendiskusikan halaman hitam sejarahnya dan ini bisa berdampak penyembuhan bagi Belanda seperti yang dialami Jepang dan Jerman.
Tineke Bennema dan Jeffry Pondaag mengimbau agar secepatnya dibentuk komisi pendidikan untuk menulis kembali buku sejarah kolonial Belanda di Indonesia. Kekejaman Belanda di sana dan penderitaan orang Indonesia di era itu juga harus dicantumkan.
Mereka mengimbau agar ini terwujud secepatnya, jangan sampai menunggu satu dasawarsa lagi. Demikian tulis sejarawan Belanda Tineke Bennema dan Jefry Pondaag aktivis Komite Utang Kehormatani Belanda di koran NRC.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H