Lihat ke Halaman Asli

M.Dahlan Abubakar

Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin

Mari Menanam Kembali (Refleksi Hari Lingkungan Hidup)

Diperbarui: 5 Juni 2021   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hutan menuju Desa Lere Kecamatan Parado Bima, 2019 (Dokpri)

             Pada tanggal 23 dan 25 Desember 2016 terjadi banjir bandang yang melnda Kota Bima. Banjir datang "mengurung" ibu kota itu dari arah timur, Wawo dan dari arah utara Wera. Mudah ditebak, mengapa dari dua arah mata angin ini banjir bandang itu bersumber. Yang pasti ada lingkungan hidup yang terkuras di atas sana yang berdampak banjir sampai ke muara, bahkan hingga Pelabuhan Bima.

            Bertepatan dengan hari Jumat, 2 April 2021, sama dengan banjir bandang yang paling besar 25 Desember 2016, juga terjadi pada hari Jumat selepas salat,  banjir juga ,menggasak empat  kecamatan. Banjir melindas Kecamatan Monta,. Woha, Madapangga, dan Bolo  menyebabkan  sejumlah desa yang dilalui oleh banjir bandang tersebut tergenang air.

            Banjir tersebut mengakibatkan sekitar 23.362 jiwa terkena dampaknya. Sejumlah rumah terendam.   Laporan media menyebutkan hujan turun selama sembilan jam di seluruh wilayah Kabupaten Bima menyebabkan pada pukul 15.00 Wita bendungan yang ada pada empat kecamatan tersebut kewalahan menampung debit air. Air meluap  dan menggenangi lahan persawahan serta perkampungan warga sekitar serta jalan raya. Video amatir yang  "bergentayangan" di jagat maya memperlihatkan  genangan air mirip samudera terjadi di desa Pela Kecamatan Monto dan mengalir deras di jalan trans Sumbawa yang ada di Desa Leu Kecamatan Bolo.

            Banjir yang melibas Kecamatan Monta dan Woha merupakan kiriman dari Sungai Parado, tempat Dam Pelaparado dibangun. Intensitas hujan yang tinggi di wilayah Kecamatan Parado membuat debit air tidak mampu lagi tertampung oleh dam, Akibarnya, desa-desa di Kecamatan Monta seperti Pela, Simpasai, Sie, Tangga, Sekuru, Baralau, Tenga, Tente dan sekitarnya tersapu bersih oleh banjir. Air yang mengalir dari Dam Pelaparado itu bermuara ke Teluk Bima, di dekat Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima.

            Baniir dari daerah selatan ini bertemu dengan banjir kiriman dari Kecamatan Bolo dan Madapangga di sebelah barat Bandara Sultan Muhammad Salahuddin. Akibatnya, akumulasi debit air kiriman dua wilayah tersebut menyatu di sekitar ujung selatan Teluk Bima. Untung saja, Bandara Sultan Muhammad Salahuddin tetap dapat beroperasi, meskipun mungkin sempat ada rasa waswas bakal tergenang air.

Hutan di Hulu

            Banjir bandang yang melanda bagian selatan Kabupaten Bima dipastikan merupakan kiriman dari Kecamatan Parado yang hutannya sudah gundul. Pada tahun dalam tiga tahun terakhir ini, membaiknya harga jagung membuat hutan di Kecamatan Parado dibabat habis. Hutan di dekat Dam Pelaparado yang semula masih perawan, sudah gundul pacul. Yang terparah, akibat gundulnya hutan tersebut hujan deras yang turun mengikis badan jalan, hingga terjadi longsor. Drainase jalan aspel yang buruk, memperparah kondisi jalan saat ini. Kunjungan terakhir saya di Parado,27-30 Mei 2021 menunjukkan, jalan beraspal mulus di sekitar Dam Pelaparado sudah mulai berlubang-lubang, terutama di sekitar Oi Ngonco (Air Asam) di kawasan Dam Pelaparado.

            Rusaknya jalan ini ternyata ruas  yang sudah beraspal mulus itu dibangun tanpa pembuatan selokan dan drainase yang memadai. Air hujan yang turun dan mengalir dari ladang jagung melintas di atas aspal dan membawa serta bebatuan dan kayu-kayu yang tersisa dari ladang jagung. Kualitas aspal yang rendah tidak cukup kuat menahan beban truk bermuatan sarat yang mengangkut hasil produksi jagung dari Parado yang tidak terbilang banyaknya.

            Pada tahun 2019, ada operasi, sejumlah personel tentara masuk ke Kecamatan Parado dan menangkapi mereka yang tertangkap tangan sedang mengoperasikan pemotong kayu bermesin (saw mill) di hutan-hutan. Tentara juga mengendus tumpukan kayu yang disembunyikan warga di Desa Kanca, khususnya di salah satu bagian kebun milik ayah saya. Tumpukan kayu yang puluhan kubik di Desa SiE juga lenyap seketika dan hingga kunjungan saya terakhir itu  sudah tidak kelihatan lagi.

            Seiring dengan operasi tentara itu, warga yang terlanjur menanam jagung dan membiayainya dari hasil pinjaman dan kredit, diteloransi tetap memelihara jagungnya, tetapi harus menanam kemiri sebagai penghijauan, komoditas yang pernah ditanam massal beberapa tahun silam dan sudah berbuah, namun dibabat habis demi pendatang baru yang bernama jagung.

            Persoalan yang muncul ternyata hanya tanaman jagung yang berhasil, sementara tanaman kemiri lebih banyak yang gagal. Tampaknya bibit kemiri hanya ditancapkan di tanah sekadarnya tanpa pengawasan pertumbuhan yang berarti. Persoalan memang selalu saja muncul. Warga harus memiliki pilihan dalam mengurus dua komoditas yang sama pentingnya ini. Jagung demi memperbaiki kehidupan ekonomi dan kemiri untuk kepentingan pelestarian lingkungan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline