Pada tahun 2013, saya berkunjung ke Jepang untuk kedua kalinya, setelah pertama kali mewakili wartawan Indonesia memenuhi undangan "Ministry of Foreign Affair" (MoFA) -- Kementerian Luar Negeri --Jepang yang mengundang wartawan negara ASEAN berkunjung ke negeri itu 27 Januari s.d. 7 Februari 2003. Pada kunjungan kedua ini, saya memasuki Jepang dari selatan, Fukuoka, sementara pada kali pertama memasuki negara itu dari utara, Tokyo.
Setelah menginap di Fukuoka sehari, kami melanjutkan perjalanan ke Hiroshima dan mengunjungi kota yang hancur ketika bom atom yang dijatuhkan Amerika 6 Agustus 1945 mengakibatkan tewasnya 129.000 jiwa penduduk. Kota ini merupakan objek utama orang berkunjung ke Jepang, sebelum melancong ke beberapa kota .lainnya.
Kami tiba di Kyoto malam hari dengan kereta "Shinkansen" dari Hiroshima dan menginap dua malam di kota tua ini. Agenda di kota ini, selain mengunjungi objek wisata, juga kami sempat mengunjungi University of Kyoto, tempat banyak dosen Unhas pernah belajar. Bahkan, Ibu Agnes Rampisela, dosen Fakultas Teknik Unhas, sempat bertemu guru besarnya mengenakan topi sedang menunggang sepeda saat siap-siap bergerak meninggalkan kampus.
Pagi keesokan hari, didampingi Suherman Hamzah, dosen Teknik Unhas yang belajar di kota itu (kini Direktur Komunikasi Unhas), kami berkunjung ke Kobe, sebuah kota pelabuhan paling ramai di Jepang di samping kota-kota lainnya, Osaka dan Nagoya, Ekspor dan impor Jepang juga banyak keluar dan masuk melalui kota pelabuhan ini.
Menumpang kereta lokal jarak Kyoto-Kobe 76 km kami dapat ditemouh sekitar 1 jam 22 menit. Kereta harus singgah-singgah di beberapa stasiun hanya dalam hitungan satu menit untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.
Ada pemandangan yang menarik yang saya selalu perhatikan setiap naik kereta. Pada sebuah bangku di depan saya, seorang dosen perempuan teman saya duduk dengan seorang perempuan yang lebih tua. Jika teman dosen saya itu pulas diayun-ayun kereta, perempuan Jepang di sebelah kirinya malah asyik membaca buku.
Lalu pemandangn lain, tak kalah menarik perhatian saya. Di lorong antara kursi kereta di bagian belakang sana berdiri seorang perempuan yang lebih muda yang kebetulan tidak memperoleh tempat duduk. Dia berdiri dan menunggu tiba di tujuan dengan membaca buku. Saya memotret kedua pemandangan yang sangat langka ditemukan di tanah air ini dengan kamera.
Pemandangan seperti ini, juga saya saksikan ketika menumpang kereta lokal di Kota Tokyo saat kembali dari tengah kota menuju sebuah hotel yang ada di bagian pinggir kota pada sore hari. Beberapa laki-laki setengah umur dan perempuan yang duduk di kursi yang berhadapan asyik membaca selama perjalanan. Mereka memanfaatkan waktunya dengan membaca buku.
Pemandangan seperti itu jelas sangat kontras dengan yang kita temukan di Indonesia. Di Indonesia justru sibuk bermain gawai dibandingkan membaca buku. Prof.Dr.Anwar Arifin dalam salah satu tulisan untuk otobiografi saya menulis, hingga kini Indonesia kekurangan buku, yaitu satu buku untuk 1000 orang. Sedangkan Sungapura misalnya, satu buku untuk dua orang. Kekurangan buku bagi Indonesia, tentu berdampak negatif terhadap rendahnya budaya literasi orang Indonesia. Tidak salah jika "Central Connecticut State University" di Amerika Serikat dalam penelitian yang bertajuk "World's Most Literarate Nations" (2016), menempatkan Literasi Nasional Indonesia pada posisi ke-60 dari 61 negara. Indonesia hanya unggul dari Botswana di Afrika,