Lihat ke Halaman Asli

M.Dahlan Abubakar

Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin

Ramang, Tiang Gawang Patah (39)

Diperbarui: 12 Mei 2021   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sastrawan Toha Mohtar secara manis menulis mengenai Ramang dalam salah satu karyanya. Sastrawan Indonesia yang meninggal dunia di Jakarta tahun 1992 dalam salah satu bukunya yang kemudian dikutip salah satu buku untuk Kelas VII SMP menulis begini:

''Sehabis latihan, anak-anak duduk bergerombol di pinggir lapangan (1987, pen.). Guntingan koran yang memuat berita kematian Ramang pindah dari tangan ke tangan. Bertus, Jono, Ula, Danggela, Dori, sibuk membicarakan kehebatan Ramang. Dul Peyot, bersandar pada pohon jambu dengan mata setengah tertutup menikmati semilirnya angin senja seperti tak acuh pada hangar-bingar anak-anak di dekatnya. Ceting, sang penjaga gawang yang tak banyak kata, membujur di atas rumput dengan bantal tangan. Mata menerawang ke langit, tetapi kedua kupingnya menampung segala yang menjadi pembicaraan anak-anak yang kini malahan menjadi debat tentang kemahiran Ramang.

Bertus yang suka celoteh berbicara lebih tinggi.

''Om saya di Persebaya bilang, bahwa Ramang pernah menendang bola begitu keras, hingga tiang gawang patah terkena terjangan bola''.

Dul Peyok yang cepat muak, dengar ribut anak-anak bangkit lalu ngeloyor (pergi) menendang bola.

''Kalian otak udang semua, debatkan perkara yang sama-sama tidak dikuasai. Akhirnya, cuma bualan yang keluar. Kau ke mana Dul''.

''Mandi dulu, jika kalian mau tunggu aku di rumah Kek Karta''.

Habis magrib anak-anak mendatangi rumah Kek Karta, dedengkot kampung yang konon di zaman mudanya pernah tinggal di kota besar dan jadi pemain bola yang punya nama. Dul Peyok tidak keliru. Dia tahu banyak tentang Ramang. Cuma Kek Karta dari seluruh kampungnya yang bisa cerita. Dan, anak-anak beruntung petang itu. Asma Kakek tidak sedang bangkit dan encok di kaki kanannya tidak lagi mengganggu. Wajahnya berseri-seri. Tawanya terkekeh-kekeh panjang.

Bertus langsung menyerahkan guntingan koran.

''Sudah baca kematian Ramang, Kek''.

Kakek Karta mengamati potret Ramang dengan matanya yang kecil. Dibawanya ke dekat lampu, mata itu mengedip-ngedip lama seperti dia ingin membangkitkan sesuatu yang telah lama mengendap di dasar ingatannya. Lalu ia manggut-manggut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline