Mungkin tidak ada nama yang sangat diingat orang, mulai dari anak-anak hingga orang tua seterkenal Ramang. Tidak hanya jika berbicara sepakbola, tetapi dalam persoalan biasa.
Zaman keemasannya selalu menjadi rujukan perihal keperkasaan tim yang diperkuatnya, PSM. Jika ada seorang anak yang bertanding menggiring si kulit bundar pada tahun 1980-an, para penonton dari pinggir lapangan akan berteriak :Ramang!!!! Ramang!!!. Padahal mungkin mereka tidak pernah melihat pemilik nama itu.
Termasuk bagaimana kelincahannya di lapangan hijau bersama Persatuan Sepakbola Makassar (PSM) yang pernah diperkuatnya, identik dengan nama pria yang satu ini. Tidak heran kesebelasan ini dijuluki "Pasukan Ramang", selain "Pasukan Juku Eja" (Ikan Merah).
Nama itu menggurita dari mulut ke mulut dan dari waktu ke waktu. Anak-anak itu mungkin hanya mengenal namanya melalui informasi dan berita media massa, termasuk radio.
Pada awal tahun 1960-an saat benda atau kotak bergambar bergerak/hidup yang bersuara bernama televisi (TV) -- yang memungkinkan orang dapat menyaksikan siaran langsung seperti saat ini -- belum dikenal di republik ini, namun orang sudah mengenal nama Ramang. Termasuk saya yang tinggal di Kanca, kampung paling ujung di Bima, mengenal nama Ramang hanya melalui siaran RRI Nusantara 4 Makassar.
Ketika orang berbicara, seseorang sudah masuk kategori lanjut usia (lansia), ikonnya selalu pada seorang bernama Ramang. Tidak pada nama lain. Siapa pun dia.
"Toa mi Ramang," begitu kalimat pendek yang masih hidup hingga kini dan entah kapan orang tidak akan pernah mengatakannya lagi kalimat pendek itu.
Kalimat ini sebagai indikator bahwa seseorang sudah tua dan tidak berprestasi lagi. Namun yang lebih umum, merujuk pada seseorang yang sudah tua. Kalimat pendek tersebut tetap hidup, meskipun Ramang sendiri berpulang ke rakhmatullah 26 September 1987.
Sudah dapat ditebak, belum pernah ada orang di jazirah Sulawesi Selatan, bahkan di Indonesia dan mungkin di jagat ini, seseorang yang sudah meninggal masih tetap disebut "toami" (sudah tua). Inilah yang membuat nama Ramang sangat melegenda. Mengapa orang tidak menyebut "Toami Noorsalam"," Toami Suwardi", dua pemain PSM yang menjadi trio maut kesebelasan Juku Eja dulu.
Inilah bukti nama Ramang telah terpatri rapat dalam ingatan banyak orang. Analogi itu masih terdengar hingga kini. Putra Ramang, Anwar Ramang, almarhum, juga merasa heran ayahnya tetap disebut "Toami" untuk mengibaratkan seseorang sudah tua.
Mengapa tidak ada yang menyebut "matemi poeng". Anwar mengakui adanya kebiasaan orang Sulawesi Selatan menyebut ayahnya "toami" karena belum ada duanya yang memiliki prestasi dan melegenda seperti itu.