Lihat ke Halaman Asli

M.Dahlan Abubakar

Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin

Pemain Lokal dan Kenangan Nonton PSM di Mattoanging

Diperbarui: 30 Maret 2021   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis dan buku SATU ABAD PSM MENGUKIR SEJARAH yang ditulis bersama A.Widya Syadzwina. / dokpri

Hari Sabtu (27/3/2021), saya secara khusus mengenakan kaos berlogo PSM hadiah dari sahabat cantik beda generasi, Andi Widya Syadzwina, tandem menulis buku Satu Abad PSM Mengukir Sejarah (2020). 

Sebelum berangkat ke kantor KONI Sulsel untuk berkantor hingga menjelang pergantian hari, saya ingat, PSM akan bertanding melawan Bhayangkara FC di Malang dalam Kejuaraan Sepakbola Menpora. Saya berharap dengan mengenakan baju PSM secara psikologis dan pendekatan emosional melalui komat-kamit mulut yang melantunkan doa dalam hati bagi kemenangan kesebelasan besutan Syamsuddin Batola tersebut.

Saya memang sudah 15 tahun tidak menonton langsung pertandingan PSM di Stadion Mattoanging dan hanya menonton melalui siaran langsung TV. Selain sudah tidak turun ke lapangan, meskipun tetap merasa diri tetap wartawan hingga kini, kericuhan yang selalu memicu suporter saat timnya kalah, kerap mencegah saya pergi menonton. Saya memang punya pengalaman buruk saat menonton sambil meliput. Itu terjadi sekitar tahun 2004/2005,

Pada tahun itu, saya sebenarnya tidak perlu datang menonton sendiri di lapangan sekaligus meliput, tetapi kala itu, Harian "Pedoman Rakyat" tidak memiliki wartawan foto. 

Dua wartawan foto yang dimiliki mediqa tertua yang sudah tinggal nama ini , B.Ph.M.Rompas, wartawan foto kawakan yang pernah menjadi fotografer Jenderal M.Jusuf ketika menjabat Pangdam XIV Hasanuddin, khususnya saat operasi Kilat saat Qajar Mudzakkar memberontak, usianya sudah uzur. Sementara seorang wartawan foto lainnya, Syafruddin Tang sudah memilih menjadi pengusaha pengangkut batu bara di Kalimantan Timur.

Memang ada wartawan tulis yang bisa memegang kamera, tetapi untuk urusan memotret pertandingan sepakbola yang rata-rata berlangsung malam hari, saat penggunaan lampu blitz (lampu kamera) dilarang, teman-teman angkat tangan. Maka, apa boleh buat saya terpaksa turun daripada berita pertandingan dimuat tanpa gambar.

"Mestinya, seorang pemimpin redaksi tidak perlu turun meliput di lapangan," Syarif May, wartawan LKBN "Antara" Makassar berkata kepada saya.

"Seharusnya seperti itu, tetapi jabatan sebagai pemimpin redaksi tidak mampu menahan saya turun sendiri meliput, khususnya memotret pertandingan sepakbola," balas saya.

Wartawan foto tidak disediakan tempat duduk khusus. Mereka boleh "merumput" (duduk di atas rumput) di dekat pojok, di belakang gawang. Ya, sekitar 2-3 m dari garis gawang. Sebab, di posisi inilah para mat kodak memperoleh peluang menghasilkan momen "scrimage: (perebutan bola di depan gawang) yang menarik dipajang di halaman surat kabar.

Namun yang paling dicari adalah momen saat bola dalam perjalanan (melayang) menuju jaring penjaga gawang yang "dijagai" para wartawan foto. 

Memotret momen-momen spektakuler seperti ini memang gampang-gampang susah. Mata harus terus melengket di belakang jendela bidik kamera saat bola mulai mendekat ke gawang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline