Hari ini, tepatnya tanggal 23 Juli 2015, kita memperingati Hari Anak Nasional 2015. Suatu peringatan yang mengingatkan kembali kepada para orangtua agar tidak melupakan dan menelentarkan anak-anak.
Selain itu kepedulian kepada semua warga , tetangga, orang di sekitarnya untuk berpartisipasi dalam menghormati dan menjamin seluruh hak-ahak tanpa diskriminasi.
Menjamin keberlangsungan hidup dan perkembangan anak, menghargai pendapat anak.
Jutaan anak alami kekerasan:
Dari total 84 juta anak Indonesia, masih mengalami kekerasan fisik setidaknya 7 juta dan 2,6 anak mengalami kekerasan emosional. Tantangan besar bagi Indonesia untuk mewujudkan rasa ramah,nyaman ,aman bagi anak Indonesia.
Masih teringat dalam ingatan kita semua adanya kasus Angeline, dimana kekerasan anak itu berakhir dengan kematian anak. Tanpa perlindungan sama sekali, anak tidak berdaya untuk melaporkan kekerasan kepada yang terkait. Dia belum tahu bagaimana cara lapornya. Keluarganya pun menutupi semua apa yang dilakukan oleh orangtua angkat.
Kekerasan anak memiliki komplesitas yang berbeda-beda. Bukan masalah kekerasan yang ditonjolkan saja tetapi pengertian bahwa kekerasan dalam bentuk dan level apa pun tidak boleh sampai terjadi.
Pelanggaran hak anak yang tampaknya reme, misalnya pengabaian terhadapa hak anak untuk berpartisipasi secara wajar menurut harkat dan martabat kemanusiaan. Bentuknya seperti orangtua memaksakan kehendak kepada anak mengenai jurusan sekolah apa yang harus ditekuni. Orangtua punya profesi dokter, menginginkan anaknya juga punya profesi yang sama. Orangtua punya profesi pedagang atau entrepreneur, anak juga harus sama. Bukan hanya soal sekolah, sampai kepada hal makanan pun, orangtua tidak boleh memasakan kehendaknya. Jika makanan itu membahayakan dan tidak bermutu atau berkualitas, berikan penjelasan yang sangat rinci tentang bahayanya, bukan sekedar melarang saja.
Masyarkat Indonesia mulai dari keluarga harus proaktif menyadari akan pentingnya mencegah kekerasan dan pelanggaran hak-haka anak. Bukan hanya menyalahkan pemerintah saja.
Bentuk proaktif ini misalnya dengan menyebarluaskan pemahaman hak-hak anak di media massa, sekolah, komunkasi informal, di lingkungan serta agama. Kedua, memberlakukan kebijakan berperspektif ramah anak di perusahaan atau lembaga, seperti memproduksi mainan dan tontonan ramah anak.
Pola Asuh yang benar