Tidak ada seorang pun yang ingin menjadi seorang "single mom". Tetapi ada banyak faktor yang harus dihadapi sehingga akhirnya seseorang memutuskan untuk jadi "single mom". Contohnya adanya Kekerasan di Rumah Tangga, suami yang meninggal, perceraian dengan berbagai masalah.
Tak seorang pun ingin jadi "single mom", apalagi untuk anak-anak yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang lengkap baik dari ayah maupun ibunya.
Kebutuhan kasih itu tak bisa digantikan oleh siapa pun, namun, jika kondisi tak memungkinkan, seorang ibu terpaksa harus punya jiwa dan fisik yang berat untuk berfungsi baik jadi ayah maupun ibu sekaligus. "Role" ibu yang dulunya urusan domestic saja, sekarang harus melakukan dua fungsi, domestik sekaligus urusan finansial.
Saya mengenal dekat seseorang ibu yang merupakan ibu teman saya. Ibu teman saya sebut saja A. A dengan 7 anak yang masih kecil, ketika suaminya meninggal karena kanker paru-paru, akhirnya ibu ini terpaksa mengurus anak dan finansial yang cukup berat. Dia tak bisa konsentrasi hanya memikirkan pendidikan anak saja, tapi juga memikirkan bagaimana mencari uang agar dapur tetap mengepul dan anaknya bisa sekolah. Saat itu si Ibu tak punya pendidikan formal yang tinggi, jadi pekerjaan yang dapat dikerjakannya adalah membuat konveksi pakaian.
Di era itu konveksi pakaian (anak, daster ) masih skala rumah dan belum dikerjakan secara besar-besaran, jadi hasil konvesksi bisa disalurkan atau dijual melalui toko besar. Sayangnya toko besar pun punya system pembayaran konsinyasi, artinya barang laku , satu bulan kemudian baru dibayar. Padahal untuk mendapatkan pembayaran itu penting bagi ibu A, selain untuk kebutuhan makan/sekolah anak, juga untuk modal berikutnya.
Entah dengan ilmu kemampuan untuk mengatur dan memutar uang, ibu A ini bisa tangguh menjalani hidup keras itu tanpa pernah menyerah. Kekerasan hidup yang membuat dirinya juga keras terhadap anak-anaknya. Anaknya yang kehilangan belas kasih ayah, tidak bisa minta belas kasih kepada ibunya secara berlebihan.
Tangki gelas kasih itu terpaksa dibagi-bagi untuk 7 anak dan untuk diri si ibu sendiri. Bahkan, dengan emosi yang sering tidak terkendalikan ibu merasa sakit hati karena tidak bisa menumpahkan kekesalan dan kesedihan atas hasil kerja kerasnya, hanya bisa menumpakan kekesalan kepada anak dengan kemarahan.
Anak-anak tentunya belum paham, kecuali yang besar yang sudah SMA pun terpaksa harus mencari kerja sambilan membantu ibu. Akhirnya perjumpaan anak sulung (perempuan) dengan seorang lelaki yang diimpikan untuk bisa jadi pengganti ayah, itu ternyata tak bisa diwujudkan. Meskipun si sulung sudah menikah dengan orang yang berpendidikan tinggi dan kaya, bukan berarti dia bisa membantu si ibu. Keluarga dari suami itu rupanya tak menyukai level sosial ekonomi istri dari keluarga yang tak berada. Hanya kesedihan saja yang menimpa si sulung sehingga akhirnya dia menderita sakit kanker. Sang ibu pun tak bisa berbuat banyak , ibu A tak bisa menolong putrinya baik secara materiil maupn secara moral karena dirinya masih banyak beban hidup yang ditanggungnya.
Pemberdayaan "Single Mom"
Menyiapkan diri sebelum kita ditinggalkan oleh suami menjadi "single mom", sehingga prinsip peribahasa "sedia payung sebelum hujan" sudah dapat diberlakukan.
Berikut ini adalah tipsnya: