Sekilas jika melihat keraton itu pasti akan berpikir betapa megah, klasik dan penuh dengan abdi dalam.
Pura Mangkunegaran itu bukan keraton dari sebuah kerajaan lagi, tetapi suatu cagar budaya yang dilestarikan. Ketika menginjak kaki di bagian depan Pura Mangkunegaran (sebelum masuk ke area keraton), ada beberapa bangunan kuno bekas peninggalan Belanda yang sudah dibiarkan menua dan tidak direnovasi.
Halaman luas itu seperti tidak terawatt lagi.
Namun, saat kaki menginjak kaki di depan terlihatlah bangunan pendopo joglo yang luas berwarna biru dan di depannya ada kolam airnya menghijau penuh lumut.
Pendopo joglo yang disebut dengan Pendopo Ageng berbentuk persesgi sebagai penyangga atap joglo berasal dari pepohonan yang tumbuh di hutan Donoloyo.
Warna hijau (kebiruan) dan kuning adalah warna pari anom merupakan warna khas keluarga mankunegaran.
Di bagian tengah pendopo terdapat Batik Kumodowati . Gambar batik yang berupa kotak-kotak dimana bagian tengah memiliki warna dengan arti yang berbeda.
Di Pendopo itu tersimpan 3 buah gamelan yang ditabuh saat tertentu. Tiap hari Rabu untuk Latihan tari Kyai Segoro Windu , Kyai Pamedasih dan Kyai Baswara. Sedangkan Sabtu Kayai Kenyut Mesem.
Persis di belakang Pendopo Agent terdapat bangunan pringgitan berbentuk kuthuk ngambang untuk pertunjukan wayang kulit.
Lalu ada bangunan Ndalame Ageng berbentuk limatan sekitar 1.000 meter persegi.